Hijrah Pertama Dalam Islam
Hijrah Pertama Dalam Islam
Ketika Nabi saw melihat keganasan kaum musyrik kian hari kian bertambah keras, sedang beliau tidak dapat memberikan perlindungan kepada kaum Muslim, maka beliau berkata kepada mereka, “Alangkah baiknya jika kamu dapat berhijrah ke negeri Habasyiah, karena di sana terdapat seorang raja yang adil sekali. Di bawah kekuasaannya tidak seorang pun boleh dianiaya. Karena itu pergilah kamu ke sana sampai Allah memberikan jalan keluar kepada kita, karena negeri itu adalah negeri yang cocok bagi kamu.“
Maka berangkatlah kaum Muslimin ke negeri Habasyiah demi menghindari fitnah, dan lari menuju Allah dengan membawa agama mereka. Hijrah ini merupakan hijrah partama dalam Islam. Di antara kaum muhajir yang terkenal ialah : Ustman bin Affan beserta istrinya, Ruqayyah binti Rasulullah saw, Abu Hudzaifah beserta istrinya, Zubair bin Awwam, Mush’ab bin Umair dan Abdurahaman bin Auf. Sampai akhirnya para sahabat Rasulullah saw sebanyak delapan puluh lebih berkumpul di Habasyiah.
Ketika kaum Quraisy mengetahui peristiwa ini, mereka segera mengutus Abdulah bin Abi Rabi’ah dan Amr bin Ash (sebelum masuk Islam) menemui Najasyi dengan membawa berbagai macam hadiah. Hadiah-hadiah ini diberikan kepada sang raja, para pembantu dan pendetanya, dengan harapan agar mereka menolak kehadiran kaum Muslimin dan mengembalikan mereka kepada kaum musyrik Mekkah.
Ketika Nabi saw melihat keganasan kaum musyrik kian hari kian bertambah keras, sedang beliau tidak dapat memberikan perlindungan kepada kaum Muslim, maka beliau berkata kepada mereka, “Alangkah baiknya jika kamu dapat berhijrah ke negeri Habasyiah, karena di sana terdapat seorang raja yang adil sekali. Di bawah kekuasaannya tidak seorang pun boleh dianiaya. Karena itu pergilah kamu ke sana sampai Allah memberikan jalan keluar kepada kita, karena negeri itu adalah negeri yang cocok bagi kamu.“
Maka berangkatlah kaum Muslimin ke negeri Habasyiah demi menghindari fitnah, dan lari menuju Allah dengan membawa agama mereka. Hijrah ini merupakan hijrah partama dalam Islam. Di antara kaum muhajir yang terkenal ialah : Ustman bin Affan beserta istrinya, Ruqayyah binti Rasulullah saw, Abu Hudzaifah beserta istrinya, Zubair bin Awwam, Mush’ab bin Umair dan Abdurahaman bin Auf. Sampai akhirnya para sahabat Rasulullah saw sebanyak delapan puluh lebih berkumpul di Habasyiah.
Ketika kaum Quraisy mengetahui peristiwa ini, mereka segera mengutus Abdulah bin Abi Rabi’ah dan Amr bin Ash (sebelum masuk Islam) menemui Najasyi dengan membawa berbagai macam hadiah. Hadiah-hadiah ini diberikan kepada sang raja, para pembantu dan pendetanya, dengan harapan agar mereka menolak kehadiran kaum Muslimin dan mengembalikan mereka kepada kaum musyrik Mekkah.
Ketika kedua utusan ini berbicara kepada Najasyi tentang kaum Muhajir tersebut, sebelumnya kedua utusan ini telah melobi para pembantunya dan uskupnya seraya menyerahkan hadiah yang dibawanya dari Mekkah, ternyata Najasyi menolak untuk menyerahkan kaum Muslimin kepada kedua utusan tersebut sebelum dia menanyai mereka tentang agama baru yang dianutnya. Kemudian kaum Muslimin dan kedua utusan tersebut dihadapkan kepada Najasyi. Raja Najasyi bertanya kepada kaum Muslimin, “Agama apakah yang membuat kamu meninggalkan agama yang dipeluk masyarakatmu? Dan kamu tidak masuk ke dalam agamaku dan agama lainnya? “
Ja’far bin Abi Thalib, selaku juru bicara kaum Muslimin, menjawab, “Baginda raja, kami dahulu adalah orang-orang jahiliyah, menyembah berhala, makan bangkai, berbuat kejahatan, memutuskan hubungan persaudaraan, berlaku buruk terhaap tetangga dan yang kuat menindas yang lemah. Kemudian Allah mengutus seorang Rasul kepada kami, orang yang kami kenal asal keturunannya, kesungguhan tutur katanya, kejujurannya, dan kesucian hidupnya, Ia mengajak kami supaya mengesakan Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apa pun juga. Ia memerintahkan kami supaya berbicara benar, menunaikan amanat, memelihara persaudaraan, berlaku baik terhadap tetangga, menjauhkan diri dari segala perbuatan haram dan pertumpahan darah, melarang kami berbuat jahat, berdusta dan makan harta milik anak yatim. Ia memerintahkan kami supaya shalat dan berpuasa. Kami kemudian beriman kepadanya, membenarkan semua tutur katanya, menjauhi apa yang diharamkan olehnya dan menghalalkan apa yang dihalalkan bagi kami. Karena itulah kami dimusuhi oleh masyarakat kami. Mereka menganiaya dan menyiksa kami, memaksa kami supaya meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala. Ketika mereka menindas dan memperlakukan kami dengan sewenang-wenang, dan merintangi kami menjalankan agama kami, kami terpaksa pergi ke negeri bagina. Kami tidak menemukan pilihan lain kecuali baginda, dan kami berharap tidak akan diperlakukan sewenang-wenang di negeri baginda.“
Najasyi bertanya, “Apakah kamu dapat menunjukkan kepada kami sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah saw dari Allah?“
Ja’far menjawab, “Ya.“ Ja’far membacakan surat Maryam. Mendengar firman Allah itu Najasyi berlinangan air mata. Najasyi lalu berkata, “Apa yang engkau baca dan apa yang dibawa oleh Isa sesungguhnya keluar dari pancaran sinar yang satu dan sama.“
Kemudian Najasyi menoleh kepada kedua orang utusan kaum musyrik Quraisy seraya berkata, “Silahkan kalian berangkat pulang, Demi Allah mereka tidak akan kuserahkan kepada kalian.“
Keesokan harinya utusan kaum musyrik itu menghadap Najasyi. Kedua utusan itu berkata kepada Najasyi, “Wahai baginda raja, sesungguhnya mereka menjelek-jelekan Isa putra Maryam. Panggilah mereka dan tanyakanlah pandangan mereka tentang Isa.“
Kemudian mereka dihadapkan sekali lagi kepada Najasyi untuk ditanya tentang pandangan mereka terhadap Isa al-Masih. Ja’far menerangkan, “Pandangan kami mengenai Isa sesuai dengan yang diajarkan kepada kami oleh Nabi kami, yaitu bahwa Isa adalah hamba Allah, utusan Allah, Ruh Allah dan kalimat-Nya yang diturunkan kepada perawan Maryam yang sangat tekun bersembah sujud.“
Najasyi kemudian mengambil sebatang lidi yang terletak di atas lantai, kemudian berkata, “Apa yang engkau katakan tentang Isa tidak berselisih, kecuali hanya sebesar lidi ini.“
Kemudian Najasyi mengembalikan barang-barang hadiah dari kaum musyrik Quraisy kepada utusan itu. Sejak saat itulah kaum Muslimin tinggal di Habasyiah dengan tenang dan tenteram. Sementara kedua utusan Quraisy itu kembali ke Mekkah dengan tangan hampa.
Setelah bebetapa waktu tinggal di Habasyiah, sampailah kepada mereka berita tentang masuk Islamnya penduduk Mekkah. Mendengar berita ini mereka segera kembali ke Mekakh, hingga ketika sudah hampir masuk ke kota Mekkah, mereka baru mengetahui bahwa berita tersebut tidak benar. Karena itu, tidak seorang pun dari mereka yang masuk ke Mekkah, kecuali dengan perlindungan (dari salah seorang tokoh Quraisy) atau dengan sembunyi-sembunyi. Mereka seluruhnya berjumlah tiga puluh orang. Di antara mereka yang masuk ke Mekkah dengen perlindungan ialah Ustman bin Mazh’un ia masuk dengan jaminan perlindungan dari al-Walid bin al-Mughira, dan Abu Salamah dengan jaminan perlindungan Abu Thalib.
Beberapa Ibrah
Dari peristiwa hijrah ke Habasyiah ini dapat kita catat tiga pelajaran :
Pertama:
Berpegang teguh dengan agama dan menegakkan sendi-sendinya merupakan landasan dan sumber bagi setiap kekuatan. Juga merupakan pagar untuk melindungi setiap hak, baik berupa harta, tanah, kebebasan atau kehormatan. Oleh sebab itu para penyeru kepada Islam dn mujahidin di jalan Allah wajib mempersiapkan diri secara maksimal untuk melindungi agama Allah dan prinsip-prinsipnya, dan menjadikan negeri, tanah air, harta kekayaan dan kehidupan sebagai sarana untuk mempertahankan dan mamancangkan aqidah. Sehingga apabila diperlukan ia siap mengorbankan segala sesuatu di jalanya.
Apabila agama sudah terkikis atau terkalahkan, maka tidak ada lagi artinya negeri, tanah air dan harta kekayaan. Bahkan tanpa keberadaan agama dalam kehidupan, kehancuran akan segera melanda segala sesuatunya. Tetapi jika agama tegak, terpancangkan sendi-sendinya di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dan terhujam dalam aqidahnya di lubuk hati setiap orang, maka segala sesuatu yang dikorbankan di jalannya akan segera kembali. Bahkan akan kembali lebih kuat dari sebelumnya, karena dikawal oleh pagar kedermawanan, kekuatan dan kesadaran.
Sudah menjadi Sunnahtullah alam semesta sepanjang sejarah bahwa kekuatan moral merupakan pelindung bagi peradaban dan kekuatan material. Jika suatu ummat memiliki akhlak yang baik, aqidah yang sehat dan prinsip-prinsip sosial yang benar, maka kekuatan materialnya akan semakin kukuh, kuat dan tegar. Tetapi jika akhlaknya bejat, aqidahnya menyimpang, dan sistem sosialnya tidak benar, maka kekuatan materialnya tidak akan lama lagi pasti mengalami kegoncangan dan kehancuran.
Mungkin anda akan melihat suatu bangsa yang secara material berdiri dalam puncak kemajuannya, padahal sistem sosial dan akhlaknya tidak benar. Maka sesungguhnya bangsa ini sedang berjalan dengan cepat menuju kehancurannya. Mungkin anda tidak dapat melihat dan merasakan “perjalanan yang cepat“ ini, karena pendeknya umur manusia dibandingkan dengan umur sejarah dan generasi. Perjalanan seperti ini hanya bisa dilihat oleh “mata sejarah“ yang tidak pernah tidur, bukan oleh mata manusia yan picik dan terbatas.
Mungkin juga anda akan melihat suatu bangsa yang tidak pernah segan-segan mengorbankan segala kekuatan materialnya demi mempertahankan aqidah yang benar dan membangun sistem sosial yang sehat, tetapi tidak lama kemudian bangsa pemilik aqidah yang benar dan sistem sosial yang sehat ini berhasil mengembalikan negerinya yang hilang dan harta kekayaannya yang dirampok, bahkan kekuatannya kembali jauh lebih kuat dari sebelumnya.
Anda tidak akan mendapatkan gambaran yang benar tentang alam, manusia dan kehidupan, kecuali di dalam aqidah islam yang menjadi agama Allah bagi para hamba-Nya di dunia. Demikian pula anda tidak akan mendapatkan sistem sosial yang adil dan benar, kecuali dalam sistem Islam. Oleh sebab itu di antara prinsip dakwah Islam ialah mengorbankan harta, negeri dan kehidupan demi mempertahankan aqidah dan sisem Islam. Pengorbanan inilah yang akan menjamin keselamatan harta, negeri dan kehidupan kaum Muslimin.
Karena itulah prinsip hijrah ini disyariatkan di dalam Islam. Rasulullah saw memerintahkan para sahabatnya berhijrah dan meninggalkan Mekkah setelah menyaksikan penyiksaan yang dilancarkan kaum musyrik terhadap para sahabatnya, dan karena khawatir akan terjadinya fitnah pada keimanan mereka.
Hijrah ini sendiri merupakan salah satu bentuk siksaan dan penderitaan demi mempertahankan agama. Ia bukan tindakan menghindari gangguan dan mencari kesenangan, tetapi merupakan penderitaan lain di balik penantian akan datangnya kemenangan dan pertolongan Allah.
Tentu andapun mengetahui bahwa Mekkah pada waktu itu, belum menjadi Darul Islam sehingga tidak dapat diganggu gugat: mengapa para sahabat itu meninggalkan Darul Islam demi mencari keselamatan jiwa mereka di negeri kafir? Mekkah dan habasyiah juga negeri-negeri lainnya, pada saat itu tidak berbeda kondisinya. Karena itu, negeri mana saja yang lebih memungkinkan berdakwah kepadanya adalah lebih patut dijadikan tempat tinggal.
Wajib (berhijrah dari Darul Islam) manakala seorang Muslim tidak dapat melaksanakan syiar-syiar Islam, seperti shalat, puasa, adzan, haji dan lain sebagainya di negeri tersebut. Boleh (berhijrah dari Darul Islam) manakala seorang Muslim menghadapi bala’ (cobaan) yang menyulitkannya di negeri tersebut. Dalam kondisi seperti ini ia boleh keluar darinya menuju negeri Islam yang lain. Tetapi haram (berhijrah dari Darul Islam) manakala hijrahnya itu mengakibatkan terabaikanya kewajiban Islam yang memang tidak dapat dilaksanakan oleh orang selainnya.
Kedua,
Menunjukkan adanya titip persamaan antara prinsip Nabi Muhammad saw dan Nabi Isa as . Ia seorang yang mukhlis dan jujur dalam kenasraniannya. Salah satu bukti keikhlasannya adalah, bahwa dia tidak mengikuti ajaran yang menyimpang, dan tidak berpihak kepada orang yang aqidahnya berbeda dengan ajaran Injil dan apa yang dibawa oleh Isa as.
Seandainya kepercayaan “Isa anak Allah“ dan “Tritunggal“ yang didakwahkan oleh para pengikut Isa as itu benar, niscaya Najasyi (sebagai orang yang paling jujur) dan ikhlas kepada kenasraniannya) akan berpegang teguh kepada kepercayaan tersebut, dan pasti akan menolak penjelasan kaum Muslimin serta membela kaum Quraisy.
Tetapi ternyata Najasyi berkomentar tentang pandangan al-Quran terhadap kehidupan Isa as (yang dibacakan oleh Ja’far) dengan ucapannya: “Apa yang engkau baca dan apa yang dibawa oleh Isa as sesungguhnya keluar dari pancaran sinar yang satu dan sama“
Komentar ini diucapkan oleh Najasyi di hadapan para uskup dan tokoh al-Kitab yang ada di sekitarnya.
Hal ini membuktikan kepada kita bahwa semua Nabi membawa aqidah yang sama. Perselisihan di antara ahli Kitab terjadi sebagaimana dijelaskan Allah, setelah mereka mendapatkan pengetahuan karena kedengkian yang ada pada diri mereka.
Ketiga,
Bila diperlukan, kaum Muslimin boleh meminta perlindungan kepada non-muslim, baik dari ahli kitab seperti Najasyi yang pada waktu itu masih Nasrani (tetapi setelah itu masuk Islam) atau dari orang musyrik seperti mereka yang dimintai perlindungan oleh kaum Muslimin ketika kembali ke Mekkah, antara lain Abu Thalib paman Rasulullah saw dan Muth’am bin ‘adi yang dimintai perlindungan oleh Rasulullah saw ketika masuk Mekkah sepulangnya dari Tha’if.
Tindakan ini dibenarkan selama perlindungan tersebut tidak membahayakan dakwah Islam, atau mengubah sebagian hukum atau menghalangi nahi munkar. Jika syarat ini tidak dipenuhi, maka seorang Muslim tidak dibenarkan meminta perlindungan kepada non-muslim. Sebagai dalil ialah sikap Rasulullah saw ketika diminta tidak mengecam tuhan-tuhan kaum musyrik maka ketika itu Rasulullah saw menyatakan diri keluar dari perlindungan pamannya dan menolak untuk mendiamkan sesuatu yang harus dijelaskan untuk ummat manusia.
Beberapa Ibrah
Dari peristiwa hijrah yang dilakukan Rasulullah sw ini dan dari siksaan dan penderitaan yang ditemuinya dalam perjalanan ini, kemudian dari proses kembalinya Rasulullah saw ke Mekakh, kita dapat menarik beberapa perlajaran berikut :
Pertama, bahwa semua bentuk penyiksaan dan penderitaan yang dialami Rasulullah saw, khususnya dalam perjalanan hijrah ke Thaif ini hanyalah merupakan sebagian dari perjuangan tabligh-nya kepada manusia.
Diutusnya Rasulullah saw bukan hanya untuk menyampakan aqidah yang benar tentang alam dan penciptaannya, hukum-hukum ibadah, akhlak, dan mu’amalah tetapi juga untuk menyampaikan kepada kaum Muslimin kewajiban bersabar yang telah diperintahkan Allah dan menjelaskan cara pelaksanaan sabar dan mushabarah (melipatgandakan kesabaran) yang diperintahkan Allah di dalam firman-Nya :
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga dan bertawakalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.“ QS Ali Imran : 200
Rasulullah saw telah mengajarkan kepada kita cara melaksanakan peribadatan dengan peragaan yang bersita aplikatif , lalu bersabda:
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat (cara) aku shalat.“
Sabda Nabi saw:
“Ambillah dariku manasik (cara pelaksanaan ibadah haji) mu.“
Jika hal ini dikaitkan dengan kesabaran, maka seolah-olah Rasulullah saw melalui kesabaran yang telah dicontohkannya, memerintahkan kepada kita, “Bersabarlah sebagaimana kamu melihat aku bersabar.“ Sebab bersabar merupakan salah satu prinsip Islam terpenting yang harus disampaikan kepada semua manusia.
Dalam memandang fenomena hijrah Rasulullah saw ke Thaif ini, mungkin ada orang menyimpulkan bahwa Rasulullah saw telah menemui jalan buntu dan merasa putus asa, sehingga dalam menghadapi penderitaan yang sangat berat itu ia mengucapkan doa tersebut kepada Allah, setelah tiba di kebun kedua anak Rabi’ah.
Tetapi sebenarnya Rasulullah saw telah menghdapi penganiayaan tersebut dengan penuh ridha, ikhlas dan sabar. Seandainya Rasulullah saw tidak sabar menghadapinya tentu beliau telah membalas jika suka tindakan orang-orang jahat dan para tokoh Bani Tsaqif yang mengerahkan mereka. Namun ternyata Rasulullah saw tidak melakukannya.
Di antara dalil yang menguatkan apa yang kami kemukakan ialah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a , ia berkata:
“Wahai Rasulullah saw, pernahkah engkau mengalami peristiwa yang lebih berat dari peristiwa Uhud?“ Jawab Nabi saw, “Aku telah mengalami berbagai penganiayaan dari kaumku. Tetapi penganiayaan terberat yang pernah aku rasakan ialah pada hari ‘Aqabah di mana aku datang dan berdakwah kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kilal, tetapi tersentak dan tersadar ketika sampai di Qarnu’ts-Tsa’alib. Lalu aku angkat kepalaku, dan aku pandang dan tiba-tiba muncul Jibril memanggilku seraya berkata, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan dan jawaban kaummu terhadapmu, dan Allah telah mengutus Malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan sesukamu, “Nabi saw melanjutkan . Kemudian Malaikat penjaga gunung memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku lalu berkata, “Wahai Muhammad!Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah Malaikat penjaga gunung, dan Rabb-mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka, aku bisa membalikkan gunung Akhsyabin ini ke atas mereka.“ Jawab Nabi saw, “Bahkan aku menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan mereka generasi yang menyambah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, dengan sesuatu pun.“
Ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw ingin mengajarkan kepada para sahabatnya dan ummatnya sesudahnya, kesabaran dan seni kesabaran dalam menghadapi segala macam penderitaan di jalan Allah.
Mungkin timbul pertanyaan lain: Apa arti pengaduan yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw? Apa maksud lafadzh-lafadzh doanya ynag mengungkapkan perasaan putus asa dan kebosanan akibat berbagai usaha dan perjuangan yang hanya menghasilkan penderitaan dan penyiksaan ?
Jawabnya, bahwa pengaduan kepada Allah adalah ‘ibadah. Merendahkan diri kepada-Nya dan menghinakan diri di hadapan pintu-Nya adalah perbuatan taqarrub ketaatan.
Sesungguhnya penderitaan dan musibah yang menimpah manusia mempunyai beberapa hikmah. Di antaranya, akan membawa orang yang mengalami musibah dan penderitaan itu kepada pintu Allah dan meningkatkan ‘Ubudiyah kepada-Nya. Maka tidak ada pertentangan antara kesabaran terhadap penderitaan dan pengaduan kepada Allah. Bahkan kedua sikap ini merupakan tuntutan yang diajarkan Rasulullah saw kepada kita melalui kesabarannya terhadap penderitaan dan penganiayaan, Rasulullah saw ingin mengajarkan kepada kita bahwa kesabaran ini adalah tugas kaum Muslimin secara umum, dan para da’i secara khususnya. Melalui pengaduan dan taqarrub kepada Allah, Rasulullah saw ingin mengajarkan kepada kita kewajiban ‘ubudiyah dan segala konsekuensinya kepada kita.
Perlu disadari betapapun tingginya jiwa manusia, dia tidak akan melampaui batas kemanusiaannya. Manusia selamanya tidak dapat menghindari diri dari fitrah, perasaannya, perasan senang dan sedih, perasaan menginginkan kesenangan dan tidak menghendaki kesusahan.
Ini berarti bahwa Rasulullah saw kendatipun telah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi berbagai penganiayaan dan penyiksaan di jalan Allah, tetapi beliau tetap memiliki perasaan sebagai manusia, merasa sakit bila tertimpa kesengsaraan, dan merasa bahagia bila mendapatkan kesenangan.
Tetapi Rasulullah saw rela menghadapi penderitaan berat dan meninggalkan kesenangan demi mengharap ridhaan Allah dan menunaikan kewajiban ‘ubudiyah . Di sinilah letak pemberian pahala dan terlihatnya arti taklif (pembebanan) kepada manusia.
Kedua, jika anda perhatikan setiap peristiwa Sirah Rasulullah saw bersama kaumnya, akan anda dapati bahwa penderitaan yang dialami oleh Rasulullah saw kadang sangat berat dan menyakitkan. Tetapi pada setiap penderitaan dan kesengsaraan yang dialaminya selalu diberikan penawar yang melegakan hati dari Allah swt. Penawar ini dimaksudkan sebagai hiburan bagi Rasulullah saw agar faktor-faktor kekecewaan dan perasaan putus asa tidak sampai merasuk ke dalam jiwanya.
Dalam peristiwa hijrah Rasulullah saw ke Thaif dengan segala penderitaan yang ditemuinya, baik berupa penyiksaan ataupun kekecewaan hati, dapat anda lihat adanya penawar Ilahi terhadap kebodohan orang-orang yang mengejar dan menganiayanya. Penawar ini tercermin pada seorang lelaki Nasrani, Addas, ketika datang kepadanya seraya membawa anggur, kemudian bersimpuh di hadapannya seraya mencium kepala, kedua tangan dan kakinya, setelah Nabi saw mengabarkan kepadanya bahwa dirinya adalah seoran g Nabi.
Peristiwa ajaib simbol-simbol takdir yang terdapat di dalam peristiwa ini! Kebaikan, kedermawanan dan kemuliaan datang begitu cepat memintakan ma’af atas kejahatan, kebodohan dan kedzaliman ynag baru saja dialaminya . Kecupan mesra itu datang setelah umpatan-umpatan permusuhan.
Sesungguhnya kedua anak Rabi’ah termasuk musuh bebuyutan Islam. Bahkan termasuk di antara orang-orang yang mendatangi Abu Thalib, paman Rasulullah saw meinta agar Abu Thalib menghentikan Muhammad saw atau membiarkan mereka bertarung melawan Muhammad, sampai salah satu di antara kedua keompok hancur binasa. Tetapi naluri kebiadaban itu berubah dengan serta merta menjadi naluri kemanusiaan yang dibawa oleh agama ini, karena masa depan agama berkaitan erat dengan pemikiran, bukan dengan naluri.
Demikianlah, agama Nasrani datang memeluk Islam dan mendukungnya, karena satu agama yang benar dengan agama yang benar lainnya ibarat seseorang dengan saudara kandungnya. Jika hubungan antara dua orang bersudara itu adalah hubungan darah, maka hubungan antara satu agama benar dengan agama benar lainnya adalah hubungan akal dan pemahaman yang benar.
Kemudian takdir Ilahi menyempurnakan simbolnya di dalam kisah ini dengan pemetikkan buah anggur sebagai makanan yang manis dan memuaskan. Setangkai anggur yang telah dipetik ini menjadi simbol bagi ikatan Islam yang agung dan penuh kasih sayang, setiap buah anggur melambangkan sebuah pemerintahan Islam.
Ketiga, apa yang dilakukan oleh Zaid bin Haritsa, yaitu melindungi Rasulullah saw dengan dirinya dari lemparan batu orang-orang bodoh bani Tsaqif sampai kepalanya menderita beberapa luka, merupakan contoh yang harus dilakukan oleh setiap kaum Muslimin dalam bersikap terhadap pemimpin dakwah. Ia harus melindungi pemimpin dakwah dengan dirinya sekalipun harus mengorbankan kehidupannya.
Demikianlah sikap para sahabat terhadap Rasulullah saw. Sekalipun beliau sudah tidak ada di antara kita sekarang, namun kita dapat melakukannya dalam bentuk yang lain, yaitu, dengan kesiapan diri kita dalam menghadapi segala penderitaan dan penyiksaan di jalan dakwah Islam, dan menyumbangkan perjuangan berat sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah saw.
Tetapi setiap jaman dan masa harus ada para pemimpin dakwah Islam yang menggantikan kepemimpinan Nabi saw dalam berdakwah, di mana prajurit yang setia dan ikhlas di sekitar mereka mendukung para pemimpin terssebut dengan harta dan jiwa sebagaimana yang telah dilakukan kaum Muslimin kepada Rasulullah saw.
Keempat, apa yang dikisahkan oleh Ibnu Ishaq tentang beberapa jin yang mendengarkan bacaan Rasulullah saw ketika sedang melakukan shalat malam di Nikhlah, merupakan dalil bagi eksistensi jin, dan bahwa mereka mukallaf (dibebani kewajiban melaksanakan syariat Islam). Di antara mereka terdapat jin-jin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya , di samping mereka yang ingkar dan tidak beriman. Dalil ini telah mencapai tingkatan qath’i (pasti) dengan disebutkannya di dalam beberapa nash al-Quran yang jelas, seperti beberapa ayat pada awal seurat al-Jin dan seperti firman Allah di dalam surat al-Ahqaf:
“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata, “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).“ Ketika pembacaaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (al-Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada pendengaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari ahzab yang pedih.“ QS al-Ahqaf: 29-31
Ketahuilah bahwa kisah yang disebutkan Ibnu Ishaq dan diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam Sirahnya ini, juga disebutkan oleh Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi dengan teks yang hampir sama dengan tambahan rincian sedikit. Dan berikut ini teks yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanadnya dari Ibnu Abbas :
“Bahwa Nabi saw berangkat bersama sejulah sahabatnya menuju pasar ‘Ukazh. Dalam pada itu, setan-setan iut kembali. Mereka bertanya-tanya, “Mengapa kita dihalangi dari memperoleh kabar langit dan dilempari dengan beberapa bintang?“ Dijawab, “Tidak ada yang menghalangi kamu dari memperoleh kabar langit kecuali apa yang telah terjadi. Maka pergilah ke segala penjuru dunia, dari ujung timur sampai ke ujung barat, dan perhatikanlah peristiwa apakah yang terjadi itu?“ Lalu mereka pergi melacak dari ujung timur sampai ke ujung barat, mencari apa gerangan yang menghalangi mereka dari mendapatkan kabar langit itu? Maka berangkatlah mereka yang pergi ke Tihamah menuju kepada Rasulullah saw di Nikhlah hendak ke pasar ‘Ukazh, ketika itu Rasulullah saw sedang mengimami para sahabatnya dalam shalat subuh. Ketika mendengar bacaan al-Quran dengan penuh perhatian mereka mendengarkannya. Kemudian mereka berkata, “Inilah yang menghalangi kita dari kabar langit.“ Setelah itu mereka kembali kepada kaum mereka seraya berkata, “Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Quran (bacaan) yang menakjubkan yang menunjukkan kepada kebenaran, lalu kami mempercayainya, dan kkami tidak menyekutukan Rabb kami dengan siapapun.“ Lalu Allah menurunkan (ayat) kepada Nabi-Nya, “Katakanlah, “Telah diwahyukan kepadaku bahwasannya telah mendengarkan sekumpulan jin (akan al-Quran) ...“
Teks yang diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi sama ddengan riwayat ini, hanya saja terdapat tambahan di awal hadits: Rasulullah saw tidak membacakan kepada jin, juga tidak melihat mereka. Ia berangkat bersama sejumlah sahabatnya.
Al-Asqalani berkata: Seolah-olah Bukhari sengaja membuang lafadzh ini, karena Ibnu Mas’du menyebutkan bahwa Nabi saw membacakan kepada jin. Maka riwayat Ibnu Mas’du didahulukan daripada penafikan Ibnu Abbas. Bahkan Muslim telah mengisyaratkan hal ini, kemudian meriwayatkan hadits Ibnu Mas’du setelah hadits Ibnu Abbas ini. Nabi saw bersabda: “Telah datang kepadaku seorang penyeru dari bangsa jin, lalu aku berangkat bersamanya, kemudian akau bacakan al-Quran kepadanya.“ Antara dua riwayat ini dapat dikompromikan dengan mengatakan bahwa peristiwa terjadi beberapa kali.
Riwayat Muslim, Bukhari dan Tirmidzi ini berbeda dengan riwayat Ibnu Ishaq dalam dua segi. Pertama, riwayat Ibnu Ishaq tidak menyebutkan bahwa Nabi saw shalat bersama para sahabatnya. Bahkan riwayat Ibnu Ishaq menjelaskan bahwa Nabi saw shalat sendirian. Padahal, riwayat-riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi saw mengimami sahabatnya. Kedua, riwayat Ibnu Ishaq tidak menentukan shalat subuh, sementara riwayat-riwayat lain menyebutkannya.
Menyangkut riwayat Ibnu Ishaq tidak ada masalah. Tetapi menyangkut riwayat-riwayat lain timbul dua kemusykilan. Pertama, Nabi saw berangkat ke Thaif dan pulang darinya, sebagaimana anda ketahui hanya disertai oleh Zaid bin Haritsa. Maka bagaimana mungkin Nabi saw shalat bersama para sahabatnya? Kedua, shalat lima waktu tidak disyariatkan kecuali setelah Isra’ MI’raj sedangkan Isra’Mi’raj terjadi setelah hijrah Rasulullah saw ke Thaif menurut pendapat Jumhur. Maka bagaimana mungkin Rasulullah saw melaksanakan shalat subuh pada waktu itu ?
Menyangkut kemusykilan pertama dapat dijawab, bahwa mungkin saja Rasulullah saw ketika sampai di Nihlah (sebuah tempat dekat Mekkah) bertemu dengan para sahabatnya, lalu shalat subuh bersama mereka di tempat tersebut.
Menyangkut kemusykilan kedua dapat dijawab bahwa peristiwa mendengarnya jin terhadap bacaan al-Quran ini terjadi lebih dari sekali. Pernah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan pernah juga diriwayatkan oleh Ibnu Mas’du. Kedua riwayat ini sama-sama sahih. Dan pendapat inilah yang diambil oleh jumhur ulama peneliti. Ini jika kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi setelah hijrah ke Thaif. Tetapi jika kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi sebelum hijrah ke Thaif, maka tidak lagi ada kemusykilan.
Yang perlu kita ketahui, setelah penjelasan di atas bahwa setiap Muslim wajib mengimani adanya jin, dan bahwa mereka adalah makhluk hidup yang juga dibebani oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya sebagaimana kita, kendatipun semua indera kita tidak dapat menjangkaunya. Sebab Allah memang menjadikan eksistensi merekae di luar jangkauan kemampuan mata kita. Apalagi, mata kita hanya bisa melihat beberapa benda tertentu, dengan ukuran tertentu, dan dengan syarat-syarat tertentu.
Karena keberadaan makhluk ini didasarkan atas berita yang mutawatir dari al-Quran dan Sunnah, maka kaum Muslim telah sepakat bahwa setiap orang yang mengingkari atau meragukan keberadaan jin adalah murtad dan keluar dari Islam. Sebab mengingkari sesuatu yang bersifat aksiomatik di dalam islam, disamping merupakan pendustaan terhadp kahabr mutawatir yang datang kepada kita dari Allah dan Rasul-Nya.
Jangan sampai ada orang berakal sehat yang terjerumus ke dalam kedunguan karena tidak mau meyakini sesuatu yagn tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, kemudian menolak keberadaan jin hanya karena dia tidak melihat jin.
“Kebodohan intelektual“ seperti ini akan mengharuskan pengingkaran terhadap setiap benda atau makhluk ghaib hanya karena tidak dapat dilihat. Padahal kaidah ilmiah yang sudah terkenal mengatakan: Tidak dapat dilihatnya sesuatu tidak berarti tidak adanya sesuatu tersebut.
Kelima, apa pengaruh semua peristiwa disaksikan dan dialami oleh Rasulullah saw selama perjalannya ke Thaif ini pada dirinya?
Jawabannya, terhadap pertanyaan ini nampak jelas dalam jawaban Rasulullah saw kepada Zaid bin Haritsa ketika Zaid bertanya kepadanya dengan penuh keheranan:
“Bagaimana engkau hendak pulang ke Mekkah, wahai Rasulullah saw, sedangkan penduduknya telah mengusir engkau dari sana?“
Dengan tenang dan penuh keyakinan Rasulullah saw menjawab:
“Hai Zaid! Sesungguhnya Allah-lah yang akan memberi kita jalan keluar sebagaimana yang akan engkau lihat nanti. Sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan membela Nabi-Nya.
Jelas bahwa semua yang disaksikan dan dialaminya di Thaif setelah penyiksaan dan penganiayaan yang dialaminya di mekkah, tidak memiliki pengaruh sama sekali terhadap keyakinannya kepada Allah, atau melemahkan kekuatan teakadnya yang positif di dalam jiwany.a
Demi Allah! Ini bukanlah ketabahan manusia biasa yang memiliki kekuatan lebih dalam menghadapi penderitaan dan tekanan. Tetapi ia adalah keyakinan Nubuwwah yang telah menghujam dalam di dalam hatinya. Rasulullah saw mengetahui bahwa segala tindakkannya itu semata-mata untuk menjalankan perintah Allah dan berjalan di atas jalan ynag diperintahkan-Nya, beliau tidak pernah ragu sedikitpun bahwa Allah pasti akan memenangkan urusan-Nya, dan bahwa Dia telah menjadikan ketentuan bagi tiap sesuatu.
Pelajaran yang dapat kita ambil dalam hal ini, bahwa semua penderitaan dan rintangan yang ada di jalan dakwah Islam tidak boleh menghalangi atau menghentikan perjuangan kita, atau mengakibatkan kegentaran dan kemalasan dalam diri kita, selama kita berjalan di atas petunjuk keimanan kepada Allah. Siapa saja yang telah mengambil bekal kekuatannya dari Allah, maka dia tidak akan pernah mengenal putus asa atau malas. Selama Allah yang memerintahkan, pasti Dia akan menjadi penolong dan pembela.
Kehinaan, kemalasan dan putus asa akibat penderitaan dan rintangan, hanya akan dialami oleh orang yang menganut prinsip dan ideologi yang tidak diperintahkan Allah. Sebab mereka hanya mengandalkan kepada kekuatannya sendiri, kekuatan manusia yang serba terbatas. Segala bentuk kekuatan dan ketabahan manusia akan berubah dan terancam kehancuran dan kelesuan manakala mengalami penderitaan dan kesengsaraan yang panjang mengingat ukuran kekuatan manusia yang serba terbatas.
Nabi saw Mengijinkan Para Sahabatnya Berhijrah ke Madinah
Ibnu Sa’ad di dalam kitabnya ath-Thabaqat menyebutkan riwayat dari Aisyah ra.: Ketika jumlah pengikutnya mencapai tujuh puluh orang. Rasulullah saw merasa senang, Karena Allah telah membuatnya suatu “benteng pertahanan“ dari suatu kaum yang memiliki keahlian dalam peperangan, persenjataan, dan pembelaan. Tetapi permusuhan dan penyiksaan kaum musyrik terhadap kaum Muslim pun semakin gencar dan berat. Mereka menerima cacian dan penyiksaan yang sebelumnya tidak pernah mereka alami, sehingga para sahabat mengadu kepada Rasulullah saw dan permintaan ijin ini dijawab oleh Rasulullah saw:
“Sesungguhnya aku pun telah diberitahu bahwa tempat hijrah kalian adalah Yatsrib. Barang siapa yang ingin ke luar, maka hendaklah ia keluar ke Yatsrib.“
Maka para sahabat pun bersiap-siap, mengemas semua keperluan perjalanan, kemudian berangkatlah ke Madinah secara sembunyi-sembunyi. Sahabat yang pertama kali sampai di Madinah ialah Abu Salamah bin Abdul - Asad kemudian Amir bin Rab’ah bersama istrinya. Laila binti Abi Hasymah, dialah wanita yang pertama kali datang ke Madinah dengan menggunakan kendaraan sekedup. Setelah itu para sahabat Rasulullah saw datang secara bergelombang. Mereka turun di rumah-rumah kaum Anshar mendapatkan tempat perlindungan.
Tidak seorangpun dari sahabat Rasulullah saw yang berani hijrah secara terang-terangan kecuali Umar bin al-Khattab ra. Ali bin Abi Thalib meriwayatkan bahwa ketika Umar ra hendak berhijrah, ia membaea pedang busur, panah dan tongkat di tangannya menuju Ka’bah. Kemudian sambil disaksikan oleh tokoh-tokoh Quraisy, Umar ra melakuakn thawaf tujuh kali dengan tenang. Setelah thawaf tujuh kali ia datang ke Maqam dan mengerjakan shalat. Kemudian berdiri seraya berkata:
“Semoga celakalah wajah-wajah ini! Wajah-wajah inilah yang akan dikalahkan Allah! Barangsiapa ingin ibunya kehilangan anaknya, atau istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim piatu, hendaklah ia menghadangku di balik lembah ini.“
Selanjutnya Ali ra mengatakan: “Tidak seorangpun berani mengikuti Umar kecuali beberapa kaum lemah yang telah diberitahu oleh Umar. Kemudian Umar ra berjalan dengan aman.
Demikianlah secara berangsur-angsur kaum Muslim melakukan hijrah ke Madinah sehingga tidak ada yang tertinggal di Mekkah kecuali Rasullah saw, Abu Bakar ra, Ali ra, orang-orang yang ditahan, orang-orang sakit dan orang-orang yang tidak mampu keluar
Beberapa Ibrah
Cobaan berat yang dihadapi para sahabat Rasulullah saw semasa di Mekkah adalah berupa gangguan, penyiksaan, cacian dan penghinaan dari kaum musyrik. Setelah Rasulullah saw mengijinkan mereka berhijrah, cobaan berat itu kini berupa meninggalkan tanah air, harta kekayaan, rumah dan keluarga.
Para sahabat dengan setia dan ikhlas kepada Allah menghadapi kedua bentuk cobaan berat tersebut. Semua penderitaan dan kesulitan mereka hadapi dengan penuh kesabaran dan ketabahan. Hingga ketika Rasulullah saw memerintahkan mereka berhijrah ke Madinah, tanpa merasa berat mereka berangkat meninggalkan tanah air, kekayaan dan rumah mereka. Mereka tidak bisa membawa harta benda dan kekayaan , karena harus berangkat secara sembunyi-sembunyi. Semua itu mereka tinggalkan di Mekkah untuk menyelamatkan agamanya, dan mendapatkan ganti ukhuwah yang menantikan mereka di Madinah.
Ini adalah gambaran yang benar tentang pribadi Muslim yang mengikhlaskan agama kepada Allah. Tidak mempedulikan tanah air, harta kekayaan dan kerabat demi menyelamatkan agama aqidahnya. Itulah yang telah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw di Mekkah.
Bagaimana halnya para penduduk Madinah yang telah memberikan perlindungan dan pertolongan kepad mereka? Sesungguhnya mereka telah menunjukkan keteladanan yang baik tentang ukhuwah Islamiyah dan cinta karena Allah.
Tentu anda tahu, bahwa Allah telah menjadikan persaudaraan aqidah lebih kuat ketimbang persaudaraan nasab. Karena itu pewarisan harta kekayaan di awal Islam didasarkan pada rasa aqidah, ukhuwah dan hijrah di jalan Allah.
Hukum waris berdasarkan hubungan kerabat tidak ditetapkan kecuali setelah sempurnanya Islam di Madinah dan terbentuknya Darul-Islam yang kuat. Firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberikan tempat kedamaian dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.“ QS al-Anfal: 72
Dari pensyariatan hijrah ini dapat diambil dua hukum syari’:
Pertama:
Wajib berhijrah dari Darul-Harbi ke Darul-Islam. Al-Qurthubi meriwayatkan pendapat Ibnu al-Arab, “Sesungguhnya hijrah ini wajib pada masa Rasulullah saw dan tetap wajib sampai hari kiamat. Hijrah yang terputus dengan Fathu Makkah itu hanya di masa Nabi saw saja. Karena itu, jika ada orang yang tetap tinggal di Darul-Harbi berarti dia melakukan maksiat.
Termasuk Darul-Harbi ialah tempat di mana orang Muslim tidak dapat melakuan syiar-syiar Islam seperti shalat, puasa, berjama’ah dan hukum-hukum lain yang bersifat zhahir:
Pendapat ini didasarkan kepada firman Allah :
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimanakah kamu ini?“ Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah). “Para Malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?“ Orang-orang itu tempatnya neraka jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali. Kecuali mereka yang lemah dari laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah).“ QS an-Nisa 97-98
Kedua:
Selama masih memungkinkan sesama kaum Muslim wajib memberikan pertolongan, sekalipun berlainan negara dan bumi. Para imam dan ulama sepakat bahwa kaum Muslimin, apabila mampu wajib menyelamatkan orang-orang Muslim ynag tertindas, ditawan, atau dianiaya di mana saja meraka berada. Jika meraka tidak melakukannya, maka mereka berdosa besar.
Abu Bakar bin al-Arabi berkata: “Jika ada di antara kaum Muslimin yang ditawan atau ditindas, maka mereka wajib ditolong dan diselamatkan. Jika jumlah kita memadai untuk membebaskan mereka, maka wajib ke luar atau mengerahkan seluruh harta kekayaan kita bila perlu sampai habis untuk membebaskan mereka.
Sesama kaum Muslim wajib saling tolong-menolong dan memberikan loyalitas. Tetapi pemberian loyalitas saling tolong-menolong atau persaudaraan ini, tidak boleh dilakukan antara kaum Muslim dan orang-orang non-Muslim. Secara tegas Allah menyatakan hal ini dalam firman-Nya:
“Adapun orang-orang yang kafir sebagian mereka menjadi pelindung sebagian yang lain. Jika kamu (hai para Muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.“ QS al-Anfal: 73
Ibnu al-Arabi berkata: “Allah memutuskan walayah (perwalian) antara orang-orang kafir dan orang-orang Mu’min. Kemudian menjadikan orang-orang mu’min sebagian mereka menjadi pelindung sebagian yang lain, dan orang-orang kafir sebagian mereka menjadi pelindung sebagian yang lain. Mereka saling tolong-menolong dan saling menentukan sikap berdasarkan agama dan aqidah mereka masing-masing.“
Tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan ajaran-ajaran Ilahi seperti ini merupakan asas dan pangkal kemenangan kaum Muslim pada setiap masa. Sebaliknya pengabaian kaum Muslim terhadap ajaran-ajaran ini merupakan pangkal kelemahan dan kekalahan kaum Muslim yang kita saksikan sekarang ini di setiap tempat.
Hijrah Rasulullah saw
Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa setelah Abu Bakar ra melihat kaum Muslim sudah banyak yang berangkat hijrah ke Madinah, ia datang kepada Rasulullah sw meminta ijin untuk berhijrah. Tetapi dijawab oleh Rasulullah saw, “Jangan tergesa-gesa, aku ingin memperoleh ijin dulu dari Allah.“
Abu Bakar bertanya, “Apakah engkau juga menginginkannya?“
Jawab Nabi saw, “Ya.“
Kemudian Abu Bakar ra menangguhkan keberangkatannya untuk menemani Rasulullah saw. Ia lalu membeli dua ekor unta dan dipeliharanya selama empat bulan.
Selama masa tersebut kaum Quraisy mengetahui bahwa Rasulullah saw telah memiliki pendukung dan sahabat dari luar Mekkah. Mereka khawatir jangan-jangan Rasulullah saw keluar dari Mekkah kemudian menghimpun kekuatan di sana dan menyerang mereka.
Maka diadakanlah pertemuan di Darun-Nadwah (rumah Qushayyi bin Kilab, tempat kaum Quraisy memutuskan segala perkara) untuk membahas apa yang harus dilakukan terhadap Rasulullah saw. Akhirnya diperoleh kata sepakat untuk mengambil seorang pemuda yang kuat dan perkasa dari setiap kabilah Quraisy. Kepada masing-masing pemuda itu diberikan sebilah pedang yang ampuh kemudian secara bersama-sama mereka serentak membunuhnya, agar Bani Manaf tidak berani melancarkan serangan terhadap semua orang Quraisy. Setelah ditentukan hari pelaksanaannya. Jibril as datang kepada Rasulullah saw memerintahkan berhijrah dan melarangnya tidur di tempat tidurnya pada malam itu.“
Dalam riwayat Bukhari, Aisyah ra mengatakan: “Pada suatu hari kami duduk di rumah Abu Bakar ra, tiba-tiba ada seseorang yang berkata kepada Abu Bakar, “Rasulullah saw datang padahal beliau tidak biasa datang kemari pada saat-saat seperti ini. “Kemudian Abu Bakar berkata: “Demi bapak dan ibuku yang menjadi tebusan engkau, Demi Allah, Rasulullah saw datang pada saat seperti ini, tentu ada suatu kejadian penting.“ Aisya ra berkata: “Kemudian Rasulullah saw datang dan meminta ijin untuk masuk. Setelah dipesilahkan oleh Abu Bakar, Rasulullah saw pun masuk ke rumah, lalu berkata kepada Abu Bakar, “Suruhlah keluargamu masuk ke rumah.“ Abu Bakar menjawab, “Ya, Rasulullah saw tidak ada siapa-siapa kecuali keluargaku.“ Rasulullah saw menjelaskan, “Allah telah mengijinkan aku berangkat berhijrah.“ Tanya Abu Bakar, “Apakah aku jadi menemani anda, ya Rasulullah?“ Jawab Nabi saw, “Ya, benar engkau menemani aku.“ Kemudian Abu Bakar berkata, “Ya, Rasulullah saw, ambillah salah satu dari dua ekor untaku.“ Jawab Rasulullah saw. “Ya, tetapi dengan harga.“
Lebih jauh Aisyah ra menceritakan: “Kemudian kami mempersiapkan segala keperluan secepat mungkin, dan kami buatkan bekal makanannya yang kami bungkus dalam kantung terbuat dari kulit. Lalu Asma’ binti Abu Bakar memotong ikat pinggangnya untuk mengikat mulut kantong itu, sehingga dia mendapatkan sebutan “pemilik ikat pinggang“.
Kemudian Rasulullah saw menemui Abi bin Abi Thalib dan memerintahkan untuk menunda keberangkatannya hingga selesai mengembalikan barang-barang titipan setiap orang di Mekkah yang merasa khawatir terhadap terhadap barang miliknya yang berharga, mereka selalu menitipkannya kepada Rasulullah saw, karena mereka mengetahui kejujuran dan kesetiaan beliau di dalam menjaga barang amanat.
Sementara itu Abu Bakar memerintahkan anak lelakinya Abdullah supaya menyadap berita-berita yang dibicarakan orang banyak di luar untuk di sampaikan pada sore harinya kepadanya di dalam gua. Selain Abdullah kepada bekas budaknya yang bernama Amir bin Fahirah, Abu Bakar juga memerintahkan supaya menggembalakan kambingnya di sinag hari, dan pada sore harinya supaya digiring ke gua untuk diperah air susunya di samping untuk menghapuskan jejak. Kepada Asma’, Abu Bakar menugasinya supaya membawa makanan kepadanya setiap sore.
Ibnu Ishaq dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Yahya bin ‘Ibad bin Abdillah bin Zubair dari Asma’ binti Abi Bakar ra, ia berkata: “Ketika Rasulullah saw berangkat bersama Abu Bakar, Abu Bakar membawa serta semua hartanya sejumlah enam atau lima ribu dirham. Selanjutnya Asma’ menceritakan: Kemudian kakekku yang sudah buta, Abu Quhafah, datang kepada kami seraya berkata, “Demi Allah aku melihat Abu Bakar berangkat meninggalkan kamu dengan membawa seluruh hartanya. “Aku jawab, “Tidak, wahai kakek. Dia telah meninggalkan kebaikan yang banyak untuk kami.“ Lalu aku ambil beberapa batu kemudian aku letakkan di tempat di mana Abu Bakar biasa menaruh uanngya, lalu aku tutupi dengan kain. Kemudian aku pegang tangannya dan aku katakan kepadanya, “Letakkanlah tanganmu di atas uang ini.“ Kemudian dia meletakan tangannya di antaranya seraya berkata, “Tidak mengapa, jika dia telah meninggalkan untukmu. Dia telah berbuat baik, dan ini cukup untukmu.“ Asma’ berkata, “Demi Allah sebenarnya dia tidak meninggalkan sesuatu untuk kami, tetapi dengan cara itu aku hanya ingin menyuruh kakek diam.
Pada masa hijrah Nabi saw orang-orang musyrik telah menunggu di pintu Rasulullah saaw. Mereka mengintai hendak membunuhnya. Tetapi Rasulullah saw lewat di hadapan mereka dengan selamat, karena Allah telah mendatangkan rasa kantuk pada mereka. Sementara itu, Ali bin Abi Thalib dengan tenang tidur di atas tempat tidur Rasulullah saw, setelah mendapatkan jaminan dari beliau bahwa mereka tidak akan berbuat kejahatan terhadapnya.
Maka berangkatlah Rasulullah saw bersama Abu Bakar menuju gua Tsur. Peristiwa ini menurut riwayat yang paling kuat terjadi pada tanggal 2 Rabi’ul awwal bertepatan dengan 20 September 622 M, tiga belas tahun setelah bi’tsah. Kemudian Abu Bakar memasuki gua terlebih dahulu untuk melihat barangkali di dalamnya ada binatang buas atau ular. Di gua inilah keduanya menginap selama tiga hari. Setiap malam Abdullah bin Abu Bakar menginap bersama mereka, kemudian turun ke Mekkah pada waktu Shubuh. Sementara Amir bin Fahirah datang ke gua dengan membawa kambing-kambingnya untuk menghapuskan jejak Abdullah.
Dalam pada itu, kaum musyrik setelah mengetahui keberangkatan Nabi saw mencari Rasulullah saw dengan mengawasi semua jalan ke arah Madinah, dan memeriksa setiap persembunyian, bahkan sampai ke gua Tsur. Saat itu Rasulullah saw dan Abu Bakar mendengar langkah-langkah kaki kaum musyrik di sekitar gua, sehingga Abu Bakar merasa khawatir dan berbisik kepada Rasulullah saw, “Seandainya di antara mereka ada yang melihat ke arah kakinya, niscaya mereka akan melihat kami.“ Tetapi dijawab oleh Nabi saw, “Wahai Abu Bakar, jangan kamu kira kita hanya berdua saya. Sesungguhnya Allah berserta kita.“
Allah menutup mata kaum musyrik sehingga tak seorangpun melihat ke arah gua itu, dan tak serorangpun di antara mereka yang berpikir tentang apa yang ada di dalamnya.
Setelah tidak ada lagi yang mencari, dan setelah datang Abdullah bin Arqath seorang pemandu jalan yang dibayar untuk menunjukkan jalan rahasia ke Madinah, berangkatlah keduanya menyusuri jalan pantai dengan dipandu oleh Abdullah bin Arqath itu.
Pada waktu itu kaum Quraisy mengumumkan tawaaran, bahwa siapa saja yang dapat menangkap Muhammad saw dan abu Bakar akan diberi hadiah sebesar harga diyat (tebusan) masing-masing dari keduanya.
Pada suatu hari, ketika sejumlah orang dari bani Mudlij sedang mengadakan pertemuan, di antara mereka terdapat Suraqah bin Ja’tsam, tiba-tiba datang kepada mereka seorang laki-laki sambil berkata, “Saya baru saja melihat beberapa bayangan hitam di pantai. Saya yakin mereka adalah Muhammad dan para sahabatnya.“ Suraqah pun mafhum bahwa mereka adalah Muhammad saw, tetapi dengan pura-pura berkata, “Ia berhenti sejenak, kemudian menunggang dan memacu kudanya untuk mengejar rombongan itu, hingga ketika telah sampai dekat Rasulullah saw, tiba-tiba kudanya tersungkur, dan dia pun jatuh terpelanting. Kemudian dia bangun dan mengejar kembali sampai mendengar bacaan Nabi saw. Berkali-kali Abu Bakar menoleh ke belakang, sementara Rasulullah saw berjalan terus dengan tenang. Tetapi tiba-tiba Suraqah terhempas lagi dari punggung kudanya dan jatuh terpelanting. Ia bangun lagi dengan tubuh berlumuran tanah, kemudian berteriak memanggil-manggil minta diselamatkan.
Tatkala Rasulullah saw dan Abu Bakar menghampirinya, ia meminta ma’af dan mohon supaya Nabi saw berdoa memohonkan ampunan untuknya, dan kepada Nabi saw ia menawarkan bekal perjalanan. Oleh Nabi saw dijawab, “Kami tidak membutuhkan itu! Yang kuminta supaya engkau tidak menyebarkan berita tentang kami.“ Suraqah menyahut, “baiklah.“
Maka pulanglah Suraqah dan setiap kali bertemu dengan orang-orang yang mencari-cari Rasulullah saw dia selalu menyarankan supaya kembali saja. Demikianlah kisah Suraqah. Di pagi hari ia berjuang dengan giat ingin membunuh Nabi saw, tetapi di sore hari berbalik menjadi pelindungnya.
Tiba di Quba’
Sesampainya di Quba’ Rasulullah saw disambut dengan gembira oleh para penduduknya, dan tinggal di rumah Kaltsum bin Hidam selama beberapa hari. Di sinilah Ali bin Abi Thalib menyusul Rasulullah saw setelah mengembalikan barang-barang titipan kepada para pemiliknya. Kemudian Rasulullah saw membangun mesjid Quba’, mesjid yang disebut Allah sebagai “mesjd yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama.“
Setelah itu Rasulullah saw melanjutkan perjalanannya ke Madinah. Menurut al-Mas’udi Rasulullah saw memasuki Madinah tepat pada malam hari tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Di sini Rasulullah saw disambut dengan meriah dan dijemput oleh orang-orang Anshar. Setiap orang berebut memegang tali untanya, karena mengharapkan Rasulullah saw sudi tinggal di rumahnya, sehingga Rasulullah saw berpesan kepada mereka, “Biarkan saja tali unta itu karena ia berjalan menurut perintah.“ Unta pun terus berjalan memasuki lorong-lorong Madinah hingga sampai pada sebidang tanah tempat pengeringan kurma milik dua anak yatim dari bani Najjar di depan rumah Abu Ayyub al-Ansary. Rasulullah saw bersabda: “Di sinilah tempatnya insya Allah.“ Lalu Abu Ayyub segera membawa kendaraan itu ke rumahnya, dan menyambut Nabi saw dengan penuh bahagia. Kedatangan nabi saw ini juga disambut dengan gembira oleh gadis-gadis kecil bani Najjar seraya bersenandung:
“Kami gadis-gadis dari bani Najjar, Kami harap Muhammad menjadi tetangga kami“
Mendengar senandung ini Rasulullah saw bertanya kepad mereka,“ Apakah kalian mencintaiku?“ Jawab mereka, “Ya.“ Kemudian Nabi saw bersabda: “Allah mengetahui bahwa hatiku mencintai kalian.“
Di Rumah Abu Ayyub
Abu Bakar bin Abi Syaibah, Ibnu Ishaq dan Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan dari beberapa sanad dengan lafadzh yang hampir bersamaan, bahwa Abu Ayyub ra berkata, “Ketika Rasulullah saw tinggal di rumahku, beliau menempati bagian bawah rumah, sementara aku dan Ummu Ayyub di bagian atas. Kemudian aku katakan kepadanya, “Wahai Nabi Allah, aku tidak suka dan merasa berat tinggal di atas engkau, sementara engkau berada di bawahku. “ Tetapi Nabi saw menjawab, “Wahai Abu Ayyub, biarkan kami tinggal dibawah, agar orang yang bersama kami dan orang yang ingin berkunjung kepada kami tidak perlu susah payah.“
Selanjutnya Abu Ayyub menceritakan: Demikianlah Rasulullah saw tinggal di bagian bawah sementara kami tinggal di bagian atas. Pada suatu hari, gentong kami yang berisi air pecah, maka segeralah aku dan Ummu Ayyub membersihkan air itu dengan selimut kami yang satu-satunya itu, agar air tidak menetes ke bawah yang dapat mengganggu beliau. Setelah itu aku turun kepadanya meminta agar beliau sudi pindah ke atas, sehingga beliau bersedia pindah ke atas.
Pada kesempatan lain Abu Ayyub menceritakan: Kami biasa membuatkan makanan malam untuk Nabi saw. Setelah siap makanan itu, kami kirimkan kepada beliau. Jika sisa makanan itu dikembalikan kepada kami, maka aku dan ummu Ayyub berebut pada bekas tangan beliau, dan kami makan bersama sisa makanan itu untuk mendapatkan berkat beliau. Pada suatu malam kami mengantarkan makanan malam yang kami campuri dengan bawang merah dan bawang putih kepada beliau, tetapi ketika makanan itu dikembalikan oleh Rasulullah saw kepada kami, aku tidak melihat adanya bekas tangan yang menyentuhnya. Kemudian dengan rasa cemas aku datang menanyakan, “Wahai Rasulullah saw , engkau kembalikan makanan malammu, tetapi aku tidak melihat adanya bekas tanganmu. Padahal, setiap kali engkau mengembalikan makanan, aku dan ummu Ayyub selalu berebut pada bekas tanganmu, karena ingin mendapatkan berkat.“ Nabi saw menjawab, “Aku temui pada makananmu itu bau bawang, padahal aku senantiasa bermunajat kepada Allah. Tetapi untuk kalian makan sajalah.“ Abu Ayyub berkata: Lalu kami memakannya. Setelah itu kami tidak pernah lagi menaruh bawang merah atau bawang putih pada makanan beliau.
Beberapa Ibrah
Pada pembahasan terdahulu telah kami jeaskan makna hijrah dalam Islam. Dalam penjelasan tersebut kami kemukakan bahwa Allah swt menjadikan kesucian agama dan aqidah di atas segala sesuatu. Tidak ada nilai dan arti tanah air, bangsa, harta dan kehormatan apabila aqidah dan syiar-syiar Islam terancam kepunahan dan kehancuran. Karenanya Allah mewajibkan para hambah-Nya untuk mengorbankan segala sesuatu. Jika diperlukan demi mempertahankan aqidah dan Islam.
Sudah menjadi Sunnahtullah di alam semesta, bahwa kekuatan moral yang tercermin pada aqidah yang benar dan agama yang lurus, merupakan pelindung bagi peradaban dan kekuatan material. Jika suatu umat memiliki akhlak yang luhur, dan berpegang teguh dengan agamanya yang benar, niscaya kekuatan materialnya yang tercermin pada apa yang telah kami sebutkan tadi tidak lama lagi pasti akan mengalami kehancuran. Sejarah adalah bukti terbaik bagi apa yang kami tegaskan ini.
Karena itu, Allah mensyariatkan prnsip berkorban dengan harta dan tanah air demi mempertahankan aqidah dan agama manakala diperlukan. Dengan pengorbanan ini sebenarnya kaum Muslimin telah memelihara harta, negara dan kehidupan, kendatipun nampak pertama kali mereka kehilangan semua itu.
Bukti yang terbaik bagi kebenaran pernyataan ini ialah hijrah Rasulullah saw dari Mekkah ke Madinah. Secara lahiriyah hijrah ini mungkin nampak sebagai suatu kerugian bagi Rasulullah saw, karena harus kehilangan negerinya. Tetapi pada hakekatnya merupakan upaya untuk melindungi dan memeliharanya. Sebab upaya memelihara sesuatu itu boleh jadi berupa tindakan meninggalkan dan menjauhinya selama masa tertentu. Beberapa tahun setelah hijrahnya ini berkat agama Islam yang telah diterapkan negeri yang hilang (Mekkah) dapat direbut kembali dengan penuh wibawa dan kekuatan yagn tak dapat digoyahkan oleh orang-orang yang pernah mengejar-ngejarnya.
Kembali kepada pelajaran yang terkandung dalam kisah hijrah Rasulullah saw. Dari kisah hijrah ini terdapat beberapa hukum yang sangat penting bagi setiap Muslim:
Pertama:
Hal yang paling menonjol dalam kisah hijrah Rasulullah saw ini ialah pesan beliau kepada Abu Bakar supaya menunda keberangkatannya untuk menemaninya dalam perjalanan hijrah.
Dari peristiwa ini para ulama menyimpulkan bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling dicintai Rasulullah saw, paling dekat kepadanya, dan paling berhak menjadi khalifah sesudahnya. Kesimpulan ini dikuatkan oleh beberapa peristiwa lainnya, seperti perintah Rasulullah saw kepadanya untuk menggantikan beliau menjadi immam shalat ketika beliau sakit. Juga dikuatkan oleh sabda beliau dalam hadits shahih:
“Sekiranya aku mengambil seorang kekasih (khalil), niscaya Abu Bakarlah orangnya.“
Kepribadian dan keistimewaan yang dikaruniakan Allah kepada Abu Bakar memang layak untuk mendapatkan derajat dan tingkatan tersebut. Ia adalah contoh seorang sahabat ynag jujur dan setia, bahkan siap mengorbankan jiwa dan segala yng dimilikinya demi membela Rasulullah saw. Tidakkah kita lihat bagaimana Abu Bakar memasuki gua Tsur terlebih dahulu, demi menyelamatkan Rasulullah saw dari kemungkinan gangguan binatang buas dan ular. Kita saksikan pula bagaimana Abu Bakar menggerakan harta, kedua anak dan seorang penggembala kambingnya untuk membantu Rasulullah saw dalam perjalanan panjang dan berat ini.
Demi Allah kepribadian seperti inilah yang haru dimiliki oleh setiap Muslim yang beriman kepada Allah dn Rasul-Nya . Karena itu, Rasulullah saw bersabda:
“Tidaklah beriman salah seroang di antaramu sehingga aku lebih dicintai daripada anaknya, orang tuanya dan semua orang.“
Kedua:
Mungkin akan terlintas dalam benak seorang Mukmin untuk membandingkan antara hijrah Umar bin Khattab ra dan hijrah Nabi saw, lalu bertanya: “Mengapa Umar ra berhijrah secara terang-terangan seraya menantang kaum musyrik tanpa rasa takut sedikitpun, sementara Rasululalh saw berhijrah secara sembunyi-sembunyi? Apakah Umar ra lebih berani ketimbang Nabi saw?“
Jawabnya bahwa Umar ra ataupun orang Muslim lainnya tidaklah sama dengan Rasulullah saw. Semua tindakkan dianggap sebagai tindakan pirbadi, tidak menjadi hujjah syariat. Ia boleh memilih salah satu dari beberapa cara, sarana, dan gaya sesuai dengan kapasitas keberanian dan keimanan kepada Allah.
Akan halnya Rasullah saw, beliau adalah orang yang bertugas menjelaskan syariat, yakni bahwa semua tindakannya berkaitan dengan agama merupakan syariat bagi kita. Itu sebabnya maka Sunnah Nabi saw yang berupa perkataan, perbuatan, sifat dan taqrir (penetapan)-nya, merupakan sumber syariat yang kedua. Seandainya Rasulullah saw melakukan seperti yang dilakukan oleh Umar ra niscaya orang-orang akan mengira bahwa cara dan tindakan seperti itu adalah wajib, yakni tidak boleh mengambil sikap hati-hati dan bersembunyi ketika dalam keadan bahaya. Padahal Allah menegaskan syariatnya di dunia ini berdasarkan tuntutan sebab dan akibat. Bahkan segala sesuatu ini pada hakekatnya terjadi dengan sebab dan kehendak Allah.
Oleh karena itu Rasulullah saw menggunakan semua sebab dan sarana yang secara rasional tepat dan sesuai dengan pekerjaan tersebut, sampai tidak ada sarana yang bisa dimanfaatkan kecuali telah digunakan oleh Rasulullah saw. Beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib supaya tidur di tempat tidurnya dengan menggunakan selimutnya. Juga membayar seorang musyrik setelah dapat dipastikan kejujurannya, sebagai penunjuk jalan rahasia, bersembunyi di gua selama tiga hari, dan persiapan-persiapan lainnya yang terpikirkan oleh akal manusia. Kesemuanya ini untuk menjelaskan bahwa keimanan kepada Allah tidak melarang pemakaian dan pemanfaatan sebab-sebab yang memang dijadikan Allah sebagai sebab.
Rasulullah saw melakukan itu bukan karena takut akan tertangkap oleh kaum musyrik di tengah perjalanan. Buktinya, setelah Rasulullah saw mengerahkan segala upaya, kemudian kaum musyrik mencarinya sampai ke tempat persembunyiannya di gua Tsur, hingga apabila melihat ke bawah pasti akan melihatnya, sehingga menimbulkan rasa takut di hati Abu Bakar ra., tetapi dengan tenang Rasulullah saw menjawab, “Wahai Abu Bakar, janganlah kmu kira bahwa kita hanya berdua saja. Sesungguhnya Allah beserta kita. “Seandainya Rasulullah saw hanya mengandalkan kehati-hatian (faktor amniyah) saja pasti sudah timbul rasa takut di hati beliau pada saat itu.
Tetapi karena kehati-hatian itu merupakan tugas pensyariatan (wazhifah tasyriyat) yang harus dilaksanakan, maka setelah melaksanakan tugas tersebut hatinya kembali terikat kepada Allah dan bergantung kepada pelindung-Nya. Hal ini supaya kaum Muslim mengetahui bahwa dalam segala urusan mereka tidak boleh bergantung kecuali kepada Allah, kendatipun tetap diperintahkan untuk melakukan usaha dan mencari kausal (sebab) yang diciptakan Allah apda alam nyata ini.
Di antara dalil nyata bagi apa yang kami katakan ini ialah sikap Nabi saaw ketika dikejar oleh Suraqah yang ingin membunuhnya dan mulai mendekatinya. Seandainya Rasulullah saw hanya mengandalkan usaha kehati-hatian yang telah dilakukannya, pasti beliau sudah merasa takut ketika melihat Suraqah. Tetapi Rasulullah saw tidak gentar sama sekali, bahkan dengan tenang melanjutkan bacaan al-Quran dan munajatnya kepada Allah. Karena beliau mengetahui bahwa Allah yang memerintahkannya berhijrah pasti akan melindunginya dari segala bentuk kejahatan manusia, sebagaimana telah dijelaskan-Nya di dalam Kitab-Nya yang terang.
Ketiga:
Tugas Ali ra menggantikan Rasulullah saw dalam mengembalikan barang-barang titipan yang dititipkan oleh para pemiliknya kepada Nabi saw merupakan bukti nyata bagi sikap yang kontradiktif yang diambil oleh kaum musyrik. Pada satu sisi mereka mendustakan dan menganggapnya sebagai tukang sihir atau penipu, tetapi pada sisi lain mereka tidak menemukan orang yang lebih amanah dan jujur dari Nabi saw. Ini menunjukkan bahwa keingkaran dan penolakkan mereka bukan karena meragukan kejujuran Nabi saw, tetapi karena kesombongan dan keangkuhan mereka terhadap kebenaran yang dibawanya, di samping karena takut kehilangan kepemimpinan dan kesewenang-wenangan mereka.
Keempat:
Jika kita perhatikan kegiatan dan tugas yang dilakukan oleh Abdullah bin Abu Bakar yang mondar-mandir antara gua Tsur dan Mekkah mencari berita dan mengikuti perkembangan, kemudian melaporkannya kepada Nabi saw dan ayahnya, juga tugas yang dilakukan saudara perempuannya, Asma’ binti Abu Bakar, dalam mempersiapkan bekal perjalanan dan mensuplai makanan, kita dapatkan suatu gambaran dan sosok kepribadian yang harus diwujudkan oleh para pemuda Islam yang berjuang di jalan Allah demi merealisasikan prinsip-prinsip Islam dan menegakkan masyarakat Islam. Kegiatan yang dilakukannya tidak hanya terbatas pada ritus-ritus peribadatan, tetapi harus mengerahkan segenap potensi dan seluruh kegiatannya untuk perjuangan Islam. Itulah ciri-ciri khas pemuda dalam kehidupan Islam dan kaum Muslim pada setiap masa.
Perhatikanlah orang-orang yang ada di sekitar Nabi saw pada masa dakwah dan jihadnya, sebagian besar terdiri dari para pemuda yang masih belia. Mereka tidak tanggung-tanggung dalam memobilisasi segenap potensi demi membela Islam dan menegakkan masyarakatnya.
Kelima:
Yang dialami oleh Suraqah dan kudanya ketika menghampiri Rasulullah saw merupakan mu’jizat bagi beliau. Para imam hadits menyepakai kebenaran riwayat tersebut, terutama Imam Bukhari dan Muslim. Peristiwa ini dapat dimasukkan ke dalam daftar deretan mu’jizat Nabi saw.
Keenam:
Di antara mu’jizat yang terbesar yang terjadi dalam kisah hijrah Nabi saw ialah keluarganya Rasulullah saw dari rumahya yang sudah dikepung oleh kaum musyrik yang hendak membunuhnya. Ketika Nabi saw keluar mereka semau tertidur, sehingga tak seorangpun melihatnya. Bahkan sebagai penghinaan terhadap mereka, ketika keluar dan melewati mereka Rasulullah saw menaburkan pasir ke atas kepala mereka seraya membaca firman Allah:
“Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.“ QS Yasin: 9
Mu’jizat ini merupakan pengumuman Ilahi kepada kaum musyrik pada setiap masa, bahwa penindasan dan penyiksaan yang dialami Rasulullah saw dan para sahabatnya di tengah perjuangannya menegakkan Islam, selama masa yang tidak terlalu lama, tidak berarti bahwa Allah membiarkan mereka. Tidak sepatutnya kaum musyrik dan segenap musuh Islam membanggakan hal itu, karena sesungguhnya pertolongan Allah amat dekat, dan sarana-sarana kemenangan pun kian lama kian mendekati kenyataan.
Ketujuh:
Sambutan masyarakat Madinah kepada Rasulullah memberikan gambaran kepada kita betapa besar kecintaan yang telah merasuki hari kaum Anshar. Setiap hari mereka keluar di bawah terik matahari ke pintu gerbang kota Madinah menantikan kedatangan Rasulullah sw hingga apabila matahari telah terbenam, mereka kembali untuk menantikannya esok hari. Ketika Rasulullah saw muncul, tumpahlah segala muatan rasa gembira, dan dengan serempak mereka mengumandangkan bait-bait qashidah karena kegembiraan melihat kedatangan Rasulullah saw. Perasaan cinta ini oleh Rasulullah saw dibalas dengan cinta yang sama, sehingga beliau pun memperhatikan gadis-gadis kecil Bani Najjar yang sedang berdendang menyambut kedatangannya, seraya bertanya, “Apakah kalian mencintaiku? Demi Allah, sesungguhnya hatiku mencintai kalian.“
Semua ini menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah saw tidak semata-mata mengikutinya. Bahkan mencintai Rasulullah saw itu merupakan asas dan dorongan untuk mengikutinya. Jika tidak ada cinta yang bergelora di dalam hati, niscaya tidak akan ada dorongan untuk mengikutinya.
Karena itu, sesatlah orang yang beranggapan bahwa mencintai Rasulullah saw tidak memiliki arti lain kecuali dengan mengikuti dan meneladaninya dalam beramal. Mereka tidak menyadari bahwa seseorang tidak mungkin mau meneladani kalau tidak ada dorongan yang mendorongnya ke arah itu. Dan tidak ada dorongan yang mendorong untuk mengikuti kecuali rasa cinta yang bergelora di hati yang membangkitkan semangat dan perasaan. Oleh sebab itu Rasululalh saw menjadikan bergeloranya hati dalam mencintai dirinya sebagai ukuran iman kepada Allah swt, dimana kecintaan ini mengalahkan rasa cinta kepada anak, orang tua dan semua manusia. Ini menunjukkan bahwa cinta kepada Rasulullah saw sejenis dengan cinta kepada anak dan orang tua, yakni masing-masing dari keduanya bersumber dari perasaan dan hati. Jika tidak demikian, maka tidak mungkin dapat dilakukan perbandingan antara keduanya.
Kedelapan:
Gambaran yang kita lihat pada persinggahan Rasulullah saw di rumah Abu Ayyub al-Anshari menunjukkan betapa besar cinta para sahabat kepada Rasulullah saw.
Hal yang perlu kita perhatikan ialah tabarruk-nya Abu Ayyub dan istrinya dengan bekas sentuhan jari-jari Rasulullah saw, pada hidangan makanan, ketika sisa makanan itu dikembalikan oleh Rasulullah saw kepada keduanya. Dengan demikian tabarruk (mengharapkan berkah) dari sisa-sisa Nabi saw adalah perkara yang disyariatkan dan dibenarkan oleh Nabi saw.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan beberapa gambaran lain dari tabarruk-nya para sahaabt dengan sisa-sisa Nabi saw unttuk keperluan pengobatan dan lain sebagainya.
Di antara apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitabul-Libas pada bab Perihal Uban. Disebutkan bahwa Ummu Salamah, istri Nabi saw, pernah menyimpan beberapa lembar rambut Nabi saw, di dalam sebuah kotak. Jika ada salah seorang sahabat yang terserang penyakit mata atau penyakit lainnya. Ummu Salamah mengirimkan segelas air yang sudah dicelupi dengan beberapa lembar rambut Rasulullah saw tersebut, kemudian mereka meminum air tersebut dengan mengharapkan berkahnya.
Muslim juga meriwayakan di dalam Kitabul-Fadhail pada bab keharuman keringat Rasulullah saw, bahwa Nabi saw pernah memasuki rumah Ummu Sulaim, kemudian tidur di tempat tidurnya pada saat Ummu Sulaim tidak ada di rumah. Kemudian Ummu Sulaim datang dan melihat Rasulullah saw meneteskan keringatnya. Lalu Ummu Sulaim menadahi keringat Nabi saw tersebut dengan sepotong kain di atas tempat tidur, kemudian memerasnya dan menyimpannya di dalam botol kecil. Tak lama kemudian Nabi saw bangun seraya bertanya: “Apa yang sedang kamu lakukan, wahai Ummu Sulaim?“ Ummu Sulaim menjawab: “Kami mengharap berkahnya untuk anak-anak kecil kami.“ Jawab Nabi , “Kamu benar.“
Juga apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tentang berebutnya para sahabat terhadap air bekas wudhu’ Nabi saw dan tabarruk mereka dari beberapa benda ynag pernah digunakan oleh Nabi saw seperti pakaian beliau dan bejana bekas dipakai minum beliau.
Sumber: Sirah Nabawiyah oleh Dr. Muhammad Sa'id Ramadhani Al-Buthy
Ja’far bin Abi Thalib, selaku juru bicara kaum Muslimin, menjawab, “Baginda raja, kami dahulu adalah orang-orang jahiliyah, menyembah berhala, makan bangkai, berbuat kejahatan, memutuskan hubungan persaudaraan, berlaku buruk terhaap tetangga dan yang kuat menindas yang lemah. Kemudian Allah mengutus seorang Rasul kepada kami, orang yang kami kenal asal keturunannya, kesungguhan tutur katanya, kejujurannya, dan kesucian hidupnya, Ia mengajak kami supaya mengesakan Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apa pun juga. Ia memerintahkan kami supaya berbicara benar, menunaikan amanat, memelihara persaudaraan, berlaku baik terhadap tetangga, menjauhkan diri dari segala perbuatan haram dan pertumpahan darah, melarang kami berbuat jahat, berdusta dan makan harta milik anak yatim. Ia memerintahkan kami supaya shalat dan berpuasa. Kami kemudian beriman kepadanya, membenarkan semua tutur katanya, menjauhi apa yang diharamkan olehnya dan menghalalkan apa yang dihalalkan bagi kami. Karena itulah kami dimusuhi oleh masyarakat kami. Mereka menganiaya dan menyiksa kami, memaksa kami supaya meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala. Ketika mereka menindas dan memperlakukan kami dengan sewenang-wenang, dan merintangi kami menjalankan agama kami, kami terpaksa pergi ke negeri bagina. Kami tidak menemukan pilihan lain kecuali baginda, dan kami berharap tidak akan diperlakukan sewenang-wenang di negeri baginda.“
Najasyi bertanya, “Apakah kamu dapat menunjukkan kepada kami sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah saw dari Allah?“
Ja’far menjawab, “Ya.“ Ja’far membacakan surat Maryam. Mendengar firman Allah itu Najasyi berlinangan air mata. Najasyi lalu berkata, “Apa yang engkau baca dan apa yang dibawa oleh Isa sesungguhnya keluar dari pancaran sinar yang satu dan sama.“
Kemudian Najasyi menoleh kepada kedua orang utusan kaum musyrik Quraisy seraya berkata, “Silahkan kalian berangkat pulang, Demi Allah mereka tidak akan kuserahkan kepada kalian.“
Keesokan harinya utusan kaum musyrik itu menghadap Najasyi. Kedua utusan itu berkata kepada Najasyi, “Wahai baginda raja, sesungguhnya mereka menjelek-jelekan Isa putra Maryam. Panggilah mereka dan tanyakanlah pandangan mereka tentang Isa.“
Kemudian mereka dihadapkan sekali lagi kepada Najasyi untuk ditanya tentang pandangan mereka terhadap Isa al-Masih. Ja’far menerangkan, “Pandangan kami mengenai Isa sesuai dengan yang diajarkan kepada kami oleh Nabi kami, yaitu bahwa Isa adalah hamba Allah, utusan Allah, Ruh Allah dan kalimat-Nya yang diturunkan kepada perawan Maryam yang sangat tekun bersembah sujud.“
Najasyi kemudian mengambil sebatang lidi yang terletak di atas lantai, kemudian berkata, “Apa yang engkau katakan tentang Isa tidak berselisih, kecuali hanya sebesar lidi ini.“
Kemudian Najasyi mengembalikan barang-barang hadiah dari kaum musyrik Quraisy kepada utusan itu. Sejak saat itulah kaum Muslimin tinggal di Habasyiah dengan tenang dan tenteram. Sementara kedua utusan Quraisy itu kembali ke Mekkah dengan tangan hampa.
Setelah bebetapa waktu tinggal di Habasyiah, sampailah kepada mereka berita tentang masuk Islamnya penduduk Mekkah. Mendengar berita ini mereka segera kembali ke Mekakh, hingga ketika sudah hampir masuk ke kota Mekkah, mereka baru mengetahui bahwa berita tersebut tidak benar. Karena itu, tidak seorang pun dari mereka yang masuk ke Mekkah, kecuali dengan perlindungan (dari salah seorang tokoh Quraisy) atau dengan sembunyi-sembunyi. Mereka seluruhnya berjumlah tiga puluh orang. Di antara mereka yang masuk ke Mekkah dengen perlindungan ialah Ustman bin Mazh’un ia masuk dengan jaminan perlindungan dari al-Walid bin al-Mughira, dan Abu Salamah dengan jaminan perlindungan Abu Thalib.
Beberapa Ibrah
Dari peristiwa hijrah ke Habasyiah ini dapat kita catat tiga pelajaran :
Pertama:
Berpegang teguh dengan agama dan menegakkan sendi-sendinya merupakan landasan dan sumber bagi setiap kekuatan. Juga merupakan pagar untuk melindungi setiap hak, baik berupa harta, tanah, kebebasan atau kehormatan. Oleh sebab itu para penyeru kepada Islam dn mujahidin di jalan Allah wajib mempersiapkan diri secara maksimal untuk melindungi agama Allah dan prinsip-prinsipnya, dan menjadikan negeri, tanah air, harta kekayaan dan kehidupan sebagai sarana untuk mempertahankan dan mamancangkan aqidah. Sehingga apabila diperlukan ia siap mengorbankan segala sesuatu di jalanya.
Apabila agama sudah terkikis atau terkalahkan, maka tidak ada lagi artinya negeri, tanah air dan harta kekayaan. Bahkan tanpa keberadaan agama dalam kehidupan, kehancuran akan segera melanda segala sesuatunya. Tetapi jika agama tegak, terpancangkan sendi-sendinya di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dan terhujam dalam aqidahnya di lubuk hati setiap orang, maka segala sesuatu yang dikorbankan di jalannya akan segera kembali. Bahkan akan kembali lebih kuat dari sebelumnya, karena dikawal oleh pagar kedermawanan, kekuatan dan kesadaran.
Sudah menjadi Sunnahtullah alam semesta sepanjang sejarah bahwa kekuatan moral merupakan pelindung bagi peradaban dan kekuatan material. Jika suatu ummat memiliki akhlak yang baik, aqidah yang sehat dan prinsip-prinsip sosial yang benar, maka kekuatan materialnya akan semakin kukuh, kuat dan tegar. Tetapi jika akhlaknya bejat, aqidahnya menyimpang, dan sistem sosialnya tidak benar, maka kekuatan materialnya tidak akan lama lagi pasti mengalami kegoncangan dan kehancuran.
Mungkin anda akan melihat suatu bangsa yang secara material berdiri dalam puncak kemajuannya, padahal sistem sosial dan akhlaknya tidak benar. Maka sesungguhnya bangsa ini sedang berjalan dengan cepat menuju kehancurannya. Mungkin anda tidak dapat melihat dan merasakan “perjalanan yang cepat“ ini, karena pendeknya umur manusia dibandingkan dengan umur sejarah dan generasi. Perjalanan seperti ini hanya bisa dilihat oleh “mata sejarah“ yang tidak pernah tidur, bukan oleh mata manusia yan picik dan terbatas.
Mungkin juga anda akan melihat suatu bangsa yang tidak pernah segan-segan mengorbankan segala kekuatan materialnya demi mempertahankan aqidah yang benar dan membangun sistem sosial yang sehat, tetapi tidak lama kemudian bangsa pemilik aqidah yang benar dan sistem sosial yang sehat ini berhasil mengembalikan negerinya yang hilang dan harta kekayaannya yang dirampok, bahkan kekuatannya kembali jauh lebih kuat dari sebelumnya.
Anda tidak akan mendapatkan gambaran yang benar tentang alam, manusia dan kehidupan, kecuali di dalam aqidah islam yang menjadi agama Allah bagi para hamba-Nya di dunia. Demikian pula anda tidak akan mendapatkan sistem sosial yang adil dan benar, kecuali dalam sistem Islam. Oleh sebab itu di antara prinsip dakwah Islam ialah mengorbankan harta, negeri dan kehidupan demi mempertahankan aqidah dan sisem Islam. Pengorbanan inilah yang akan menjamin keselamatan harta, negeri dan kehidupan kaum Muslimin.
Karena itulah prinsip hijrah ini disyariatkan di dalam Islam. Rasulullah saw memerintahkan para sahabatnya berhijrah dan meninggalkan Mekkah setelah menyaksikan penyiksaan yang dilancarkan kaum musyrik terhadap para sahabatnya, dan karena khawatir akan terjadinya fitnah pada keimanan mereka.
Hijrah ini sendiri merupakan salah satu bentuk siksaan dan penderitaan demi mempertahankan agama. Ia bukan tindakan menghindari gangguan dan mencari kesenangan, tetapi merupakan penderitaan lain di balik penantian akan datangnya kemenangan dan pertolongan Allah.
Tentu andapun mengetahui bahwa Mekkah pada waktu itu, belum menjadi Darul Islam sehingga tidak dapat diganggu gugat: mengapa para sahabat itu meninggalkan Darul Islam demi mencari keselamatan jiwa mereka di negeri kafir? Mekkah dan habasyiah juga negeri-negeri lainnya, pada saat itu tidak berbeda kondisinya. Karena itu, negeri mana saja yang lebih memungkinkan berdakwah kepadanya adalah lebih patut dijadikan tempat tinggal.
Wajib (berhijrah dari Darul Islam) manakala seorang Muslim tidak dapat melaksanakan syiar-syiar Islam, seperti shalat, puasa, adzan, haji dan lain sebagainya di negeri tersebut. Boleh (berhijrah dari Darul Islam) manakala seorang Muslim menghadapi bala’ (cobaan) yang menyulitkannya di negeri tersebut. Dalam kondisi seperti ini ia boleh keluar darinya menuju negeri Islam yang lain. Tetapi haram (berhijrah dari Darul Islam) manakala hijrahnya itu mengakibatkan terabaikanya kewajiban Islam yang memang tidak dapat dilaksanakan oleh orang selainnya.
Kedua,
Menunjukkan adanya titip persamaan antara prinsip Nabi Muhammad saw dan Nabi Isa as . Ia seorang yang mukhlis dan jujur dalam kenasraniannya. Salah satu bukti keikhlasannya adalah, bahwa dia tidak mengikuti ajaran yang menyimpang, dan tidak berpihak kepada orang yang aqidahnya berbeda dengan ajaran Injil dan apa yang dibawa oleh Isa as.
Seandainya kepercayaan “Isa anak Allah“ dan “Tritunggal“ yang didakwahkan oleh para pengikut Isa as itu benar, niscaya Najasyi (sebagai orang yang paling jujur) dan ikhlas kepada kenasraniannya) akan berpegang teguh kepada kepercayaan tersebut, dan pasti akan menolak penjelasan kaum Muslimin serta membela kaum Quraisy.
Tetapi ternyata Najasyi berkomentar tentang pandangan al-Quran terhadap kehidupan Isa as (yang dibacakan oleh Ja’far) dengan ucapannya: “Apa yang engkau baca dan apa yang dibawa oleh Isa as sesungguhnya keluar dari pancaran sinar yang satu dan sama“
Komentar ini diucapkan oleh Najasyi di hadapan para uskup dan tokoh al-Kitab yang ada di sekitarnya.
Hal ini membuktikan kepada kita bahwa semua Nabi membawa aqidah yang sama. Perselisihan di antara ahli Kitab terjadi sebagaimana dijelaskan Allah, setelah mereka mendapatkan pengetahuan karena kedengkian yang ada pada diri mereka.
Ketiga,
Bila diperlukan, kaum Muslimin boleh meminta perlindungan kepada non-muslim, baik dari ahli kitab seperti Najasyi yang pada waktu itu masih Nasrani (tetapi setelah itu masuk Islam) atau dari orang musyrik seperti mereka yang dimintai perlindungan oleh kaum Muslimin ketika kembali ke Mekkah, antara lain Abu Thalib paman Rasulullah saw dan Muth’am bin ‘adi yang dimintai perlindungan oleh Rasulullah saw ketika masuk Mekkah sepulangnya dari Tha’if.
Tindakan ini dibenarkan selama perlindungan tersebut tidak membahayakan dakwah Islam, atau mengubah sebagian hukum atau menghalangi nahi munkar. Jika syarat ini tidak dipenuhi, maka seorang Muslim tidak dibenarkan meminta perlindungan kepada non-muslim. Sebagai dalil ialah sikap Rasulullah saw ketika diminta tidak mengecam tuhan-tuhan kaum musyrik maka ketika itu Rasulullah saw menyatakan diri keluar dari perlindungan pamannya dan menolak untuk mendiamkan sesuatu yang harus dijelaskan untuk ummat manusia.
Hijrah Rasulullah saw ke Thaif
Setelah merasakan berbagai siksaan dan penderitaan yang dilancarkan kaum Quraisy, Rasulullah saw berangkat ke Thaif mencari perlindungan dan dukungan dari bani Tsaqif dan berharap agar mereka dapat menerima ajaran yang dibawanya dari Allah.
Setibanya di Thaif, beliau menuju tempat para pemuka bani Tsaqif, sebagai orang-orang yang berkuasa di daerah tersebut. Beliau berbicara tentang Islam dan mengajak mereka supaya beriman kepada Allah. Tetapi ajakan beliau terebut ditolak mentah-mentah dan dijawab secara kasar. Kemudian Rasulullah saw bangkit dan meninggalkan mereka, seraya mengharap supaya mereka menyembunyikan berita kedatangannya ini dari kaum Quraisy, tetapi merekapun menolaknya.
Mereka lalu mengerahkan kaum penjahat dan para budak untuk mencerca dan melemparinya dengan batu, sehingga mengakibatkan cidera pada kedua kaki Rasulullah saw. Zaid bin Haritsah, berusaha keras melindungi beliau, tetapi kewalahan, sehingga ia sendiri terluka pada kepalanya.
Setelah Rasulullah saw sampai di kebun milik ‘Utbah bin Rabi’ah kaum penjahat dan para budak yang mengejarnya berhenti dan kembali. Tetapi tanpa diketahui ternyata beliau sedang diperhatikan oleh dua orang anak Rabi’ah yang sedang berada di dalam kebun. Setelah merasa tenang di bawah naungan pohon anggur itu, Rasulullah saw mengangkat kepalanya seraya mengucapkan doa berikut:
“Ya, Allah kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Engkaulah Pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku! Kepada siapa diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akherat dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan dan mempersalahkan diriku. Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenaan-Mu.“
Berkat do’a Rasulullah saw itu tergeraklah rasa iba di dalam hati kedua anak lelaki Rabi’ah yang memiliki kebun itu. Mereka memanggil pelayannya seorang Nasrani, bernama Addas, kemudian diperintahkan, “Ambilkan buah anggur, dan berikan kepada orang itu!“
Ketika Addas meletakkan anggur itu di hadapan Rasulullah saw, dan berkata kepadanya, “Makanlah!“
Rasulullah saw mengulurkan tangannya seraya mengucapkan, “Bismillah.“ Kemudian dimakannya.
Mendengar ucapan beliau itu, Addas berkata, “Demi Allah, kata-kata itu tidap pernah diucapkan oleh penduduk daerah ini.“
Rasulullah saw bertanya, “Kamu dari daerah mana dan apa agamamu?“
Addas menjawab, “Saya seorang Nasrani dari daerah Ninawa (sebuah desa di Maushil sekarang).“
Rasulullah saw bertanya lagi, “Apakah kamu dari negeri seorang saleh yang bernama Yunus anak Matius?“ Rasulullah saw menerangkan “Yunus bin Matius adalah saudaraku. Ia seorang Nabi dan aku pun seorang Nabi.“ Seketika itu juga Addas berlutut di hadapan Rasulullah saw, lalu mencium kepala, kedua tangan dan kedua kaki beliau.
Ibnu Ishaq berkata: Setelah itu Rasulullah saw meninggalkan Thaif dan kembali ke Mekkah sampai di Nikhlah Rasulullah saw bangun pada tengah malam melaksanakan shalat. Ketika itulah beberapa makhluk yang disebutkan oleh Allah lewat dan mendengar bacaan Rasulullah saw. Begitu Rasulullah saw selesai shalat, mereka bergegas kembali kepada kaumnya seraya memerintahkan agar beriman dan menyambut apa yang baru saja mereka dengar.
Kisah mereka ini disebutkan Allah di dalam firman-Nya :
“Dan ingatlah ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya), lalu mereka berkata, “Diamlah kamu (untuk mendengarkanya).“ Ketika pembacaan telah selesai, maka kembali mereka kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata, “Hai kaumu kami sesungguh kami telah mendengarkan kitab (a-Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang meyeru kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.“ QS al-Ahqaf: 29-31
Dan di dalam firman-Nya yang lalu :
“Katakanlah (hai Muhammad), “Telah diwahyukan kepadaku bahwa telah mendengarkan sekumpulan jin (akan al-Quran) lalu mereka berkata, “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Quran yang menakjubkan.“ QS al-Jin: 1
Kemudian Rasulullah saw bersama Zaid berangkat menuju ke Mekkah. Ketika itu Zaid bin Haritsa bertanya kepada Rasulullah saw, “Bagaimana engkau hendak pulang ke Mekkah, sedangkan penduduknya telah mengusir engkau dari sana?“
Beliau menjawab ,“ Hai Zaid, sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan membela Nabi-Nya.“
Lalu Nabi saw mengutus seorang lelaki dari Khuza’ah untuk menemui Muth’am bin ‘Adi dan mengabarkan bahwa Rasulullah saw ingin masuk ke Mekkah dengan perlindungan darinya. Keinginan Nabi saw ini diterima oleh Muth’am sehingga akhirnya Rasulullah saw kembali memasui Mekkah.
Setelah merasakan berbagai siksaan dan penderitaan yang dilancarkan kaum Quraisy, Rasulullah saw berangkat ke Thaif mencari perlindungan dan dukungan dari bani Tsaqif dan berharap agar mereka dapat menerima ajaran yang dibawanya dari Allah.
Setibanya di Thaif, beliau menuju tempat para pemuka bani Tsaqif, sebagai orang-orang yang berkuasa di daerah tersebut. Beliau berbicara tentang Islam dan mengajak mereka supaya beriman kepada Allah. Tetapi ajakan beliau terebut ditolak mentah-mentah dan dijawab secara kasar. Kemudian Rasulullah saw bangkit dan meninggalkan mereka, seraya mengharap supaya mereka menyembunyikan berita kedatangannya ini dari kaum Quraisy, tetapi merekapun menolaknya.
Mereka lalu mengerahkan kaum penjahat dan para budak untuk mencerca dan melemparinya dengan batu, sehingga mengakibatkan cidera pada kedua kaki Rasulullah saw. Zaid bin Haritsah, berusaha keras melindungi beliau, tetapi kewalahan, sehingga ia sendiri terluka pada kepalanya.
Setelah Rasulullah saw sampai di kebun milik ‘Utbah bin Rabi’ah kaum penjahat dan para budak yang mengejarnya berhenti dan kembali. Tetapi tanpa diketahui ternyata beliau sedang diperhatikan oleh dua orang anak Rabi’ah yang sedang berada di dalam kebun. Setelah merasa tenang di bawah naungan pohon anggur itu, Rasulullah saw mengangkat kepalanya seraya mengucapkan doa berikut:
“Ya, Allah kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Engkaulah Pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku! Kepada siapa diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akherat dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan dan mempersalahkan diriku. Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenaan-Mu.“
Berkat do’a Rasulullah saw itu tergeraklah rasa iba di dalam hati kedua anak lelaki Rabi’ah yang memiliki kebun itu. Mereka memanggil pelayannya seorang Nasrani, bernama Addas, kemudian diperintahkan, “Ambilkan buah anggur, dan berikan kepada orang itu!“
Ketika Addas meletakkan anggur itu di hadapan Rasulullah saw, dan berkata kepadanya, “Makanlah!“
Rasulullah saw mengulurkan tangannya seraya mengucapkan, “Bismillah.“ Kemudian dimakannya.
Mendengar ucapan beliau itu, Addas berkata, “Demi Allah, kata-kata itu tidap pernah diucapkan oleh penduduk daerah ini.“
Rasulullah saw bertanya, “Kamu dari daerah mana dan apa agamamu?“
Addas menjawab, “Saya seorang Nasrani dari daerah Ninawa (sebuah desa di Maushil sekarang).“
Rasulullah saw bertanya lagi, “Apakah kamu dari negeri seorang saleh yang bernama Yunus anak Matius?“ Rasulullah saw menerangkan “Yunus bin Matius adalah saudaraku. Ia seorang Nabi dan aku pun seorang Nabi.“ Seketika itu juga Addas berlutut di hadapan Rasulullah saw, lalu mencium kepala, kedua tangan dan kedua kaki beliau.
Ibnu Ishaq berkata: Setelah itu Rasulullah saw meninggalkan Thaif dan kembali ke Mekkah sampai di Nikhlah Rasulullah saw bangun pada tengah malam melaksanakan shalat. Ketika itulah beberapa makhluk yang disebutkan oleh Allah lewat dan mendengar bacaan Rasulullah saw. Begitu Rasulullah saw selesai shalat, mereka bergegas kembali kepada kaumnya seraya memerintahkan agar beriman dan menyambut apa yang baru saja mereka dengar.
Kisah mereka ini disebutkan Allah di dalam firman-Nya :
“Dan ingatlah ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya), lalu mereka berkata, “Diamlah kamu (untuk mendengarkanya).“ Ketika pembacaan telah selesai, maka kembali mereka kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata, “Hai kaumu kami sesungguh kami telah mendengarkan kitab (a-Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang meyeru kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.“ QS al-Ahqaf: 29-31
Dan di dalam firman-Nya yang lalu :
“Katakanlah (hai Muhammad), “Telah diwahyukan kepadaku bahwa telah mendengarkan sekumpulan jin (akan al-Quran) lalu mereka berkata, “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Quran yang menakjubkan.“ QS al-Jin: 1
Kemudian Rasulullah saw bersama Zaid berangkat menuju ke Mekkah. Ketika itu Zaid bin Haritsa bertanya kepada Rasulullah saw, “Bagaimana engkau hendak pulang ke Mekkah, sedangkan penduduknya telah mengusir engkau dari sana?“
Beliau menjawab ,“ Hai Zaid, sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan membela Nabi-Nya.“
Lalu Nabi saw mengutus seorang lelaki dari Khuza’ah untuk menemui Muth’am bin ‘Adi dan mengabarkan bahwa Rasulullah saw ingin masuk ke Mekkah dengan perlindungan darinya. Keinginan Nabi saw ini diterima oleh Muth’am sehingga akhirnya Rasulullah saw kembali memasui Mekkah.
Dari peristiwa hijrah yang dilakukan Rasulullah sw ini dan dari siksaan dan penderitaan yang ditemuinya dalam perjalanan ini, kemudian dari proses kembalinya Rasulullah saw ke Mekakh, kita dapat menarik beberapa perlajaran berikut :
Pertama, bahwa semua bentuk penyiksaan dan penderitaan yang dialami Rasulullah saw, khususnya dalam perjalanan hijrah ke Thaif ini hanyalah merupakan sebagian dari perjuangan tabligh-nya kepada manusia.
Diutusnya Rasulullah saw bukan hanya untuk menyampakan aqidah yang benar tentang alam dan penciptaannya, hukum-hukum ibadah, akhlak, dan mu’amalah tetapi juga untuk menyampaikan kepada kaum Muslimin kewajiban bersabar yang telah diperintahkan Allah dan menjelaskan cara pelaksanaan sabar dan mushabarah (melipatgandakan kesabaran) yang diperintahkan Allah di dalam firman-Nya :
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga dan bertawakalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.“ QS Ali Imran : 200
Rasulullah saw telah mengajarkan kepada kita cara melaksanakan peribadatan dengan peragaan yang bersita aplikatif , lalu bersabda:
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat (cara) aku shalat.“
Sabda Nabi saw:
“Ambillah dariku manasik (cara pelaksanaan ibadah haji) mu.“
Jika hal ini dikaitkan dengan kesabaran, maka seolah-olah Rasulullah saw melalui kesabaran yang telah dicontohkannya, memerintahkan kepada kita, “Bersabarlah sebagaimana kamu melihat aku bersabar.“ Sebab bersabar merupakan salah satu prinsip Islam terpenting yang harus disampaikan kepada semua manusia.
Dalam memandang fenomena hijrah Rasulullah saw ke Thaif ini, mungkin ada orang menyimpulkan bahwa Rasulullah saw telah menemui jalan buntu dan merasa putus asa, sehingga dalam menghadapi penderitaan yang sangat berat itu ia mengucapkan doa tersebut kepada Allah, setelah tiba di kebun kedua anak Rabi’ah.
Tetapi sebenarnya Rasulullah saw telah menghdapi penganiayaan tersebut dengan penuh ridha, ikhlas dan sabar. Seandainya Rasulullah saw tidak sabar menghadapinya tentu beliau telah membalas jika suka tindakan orang-orang jahat dan para tokoh Bani Tsaqif yang mengerahkan mereka. Namun ternyata Rasulullah saw tidak melakukannya.
Di antara dalil yang menguatkan apa yang kami kemukakan ialah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a , ia berkata:
“Wahai Rasulullah saw, pernahkah engkau mengalami peristiwa yang lebih berat dari peristiwa Uhud?“ Jawab Nabi saw, “Aku telah mengalami berbagai penganiayaan dari kaumku. Tetapi penganiayaan terberat yang pernah aku rasakan ialah pada hari ‘Aqabah di mana aku datang dan berdakwah kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kilal, tetapi tersentak dan tersadar ketika sampai di Qarnu’ts-Tsa’alib. Lalu aku angkat kepalaku, dan aku pandang dan tiba-tiba muncul Jibril memanggilku seraya berkata, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan dan jawaban kaummu terhadapmu, dan Allah telah mengutus Malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan sesukamu, “Nabi saw melanjutkan . Kemudian Malaikat penjaga gunung memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku lalu berkata, “Wahai Muhammad!Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah Malaikat penjaga gunung, dan Rabb-mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka, aku bisa membalikkan gunung Akhsyabin ini ke atas mereka.“ Jawab Nabi saw, “Bahkan aku menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan mereka generasi yang menyambah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, dengan sesuatu pun.“
Ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw ingin mengajarkan kepada para sahabatnya dan ummatnya sesudahnya, kesabaran dan seni kesabaran dalam menghadapi segala macam penderitaan di jalan Allah.
Mungkin timbul pertanyaan lain: Apa arti pengaduan yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw? Apa maksud lafadzh-lafadzh doanya ynag mengungkapkan perasaan putus asa dan kebosanan akibat berbagai usaha dan perjuangan yang hanya menghasilkan penderitaan dan penyiksaan ?
Jawabnya, bahwa pengaduan kepada Allah adalah ‘ibadah. Merendahkan diri kepada-Nya dan menghinakan diri di hadapan pintu-Nya adalah perbuatan taqarrub ketaatan.
Sesungguhnya penderitaan dan musibah yang menimpah manusia mempunyai beberapa hikmah. Di antaranya, akan membawa orang yang mengalami musibah dan penderitaan itu kepada pintu Allah dan meningkatkan ‘Ubudiyah kepada-Nya. Maka tidak ada pertentangan antara kesabaran terhadap penderitaan dan pengaduan kepada Allah. Bahkan kedua sikap ini merupakan tuntutan yang diajarkan Rasulullah saw kepada kita melalui kesabarannya terhadap penderitaan dan penganiayaan, Rasulullah saw ingin mengajarkan kepada kita bahwa kesabaran ini adalah tugas kaum Muslimin secara umum, dan para da’i secara khususnya. Melalui pengaduan dan taqarrub kepada Allah, Rasulullah saw ingin mengajarkan kepada kita kewajiban ‘ubudiyah dan segala konsekuensinya kepada kita.
Perlu disadari betapapun tingginya jiwa manusia, dia tidak akan melampaui batas kemanusiaannya. Manusia selamanya tidak dapat menghindari diri dari fitrah, perasaannya, perasan senang dan sedih, perasaan menginginkan kesenangan dan tidak menghendaki kesusahan.
Ini berarti bahwa Rasulullah saw kendatipun telah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi berbagai penganiayaan dan penyiksaan di jalan Allah, tetapi beliau tetap memiliki perasaan sebagai manusia, merasa sakit bila tertimpa kesengsaraan, dan merasa bahagia bila mendapatkan kesenangan.
Tetapi Rasulullah saw rela menghadapi penderitaan berat dan meninggalkan kesenangan demi mengharap ridhaan Allah dan menunaikan kewajiban ‘ubudiyah . Di sinilah letak pemberian pahala dan terlihatnya arti taklif (pembebanan) kepada manusia.
Kedua, jika anda perhatikan setiap peristiwa Sirah Rasulullah saw bersama kaumnya, akan anda dapati bahwa penderitaan yang dialami oleh Rasulullah saw kadang sangat berat dan menyakitkan. Tetapi pada setiap penderitaan dan kesengsaraan yang dialaminya selalu diberikan penawar yang melegakan hati dari Allah swt. Penawar ini dimaksudkan sebagai hiburan bagi Rasulullah saw agar faktor-faktor kekecewaan dan perasaan putus asa tidak sampai merasuk ke dalam jiwanya.
Dalam peristiwa hijrah Rasulullah saw ke Thaif dengan segala penderitaan yang ditemuinya, baik berupa penyiksaan ataupun kekecewaan hati, dapat anda lihat adanya penawar Ilahi terhadap kebodohan orang-orang yang mengejar dan menganiayanya. Penawar ini tercermin pada seorang lelaki Nasrani, Addas, ketika datang kepadanya seraya membawa anggur, kemudian bersimpuh di hadapannya seraya mencium kepala, kedua tangan dan kakinya, setelah Nabi saw mengabarkan kepadanya bahwa dirinya adalah seoran g Nabi.
Peristiwa ajaib simbol-simbol takdir yang terdapat di dalam peristiwa ini! Kebaikan, kedermawanan dan kemuliaan datang begitu cepat memintakan ma’af atas kejahatan, kebodohan dan kedzaliman ynag baru saja dialaminya . Kecupan mesra itu datang setelah umpatan-umpatan permusuhan.
Sesungguhnya kedua anak Rabi’ah termasuk musuh bebuyutan Islam. Bahkan termasuk di antara orang-orang yang mendatangi Abu Thalib, paman Rasulullah saw meinta agar Abu Thalib menghentikan Muhammad saw atau membiarkan mereka bertarung melawan Muhammad, sampai salah satu di antara kedua keompok hancur binasa. Tetapi naluri kebiadaban itu berubah dengan serta merta menjadi naluri kemanusiaan yang dibawa oleh agama ini, karena masa depan agama berkaitan erat dengan pemikiran, bukan dengan naluri.
Demikianlah, agama Nasrani datang memeluk Islam dan mendukungnya, karena satu agama yang benar dengan agama yang benar lainnya ibarat seseorang dengan saudara kandungnya. Jika hubungan antara dua orang bersudara itu adalah hubungan darah, maka hubungan antara satu agama benar dengan agama benar lainnya adalah hubungan akal dan pemahaman yang benar.
Kemudian takdir Ilahi menyempurnakan simbolnya di dalam kisah ini dengan pemetikkan buah anggur sebagai makanan yang manis dan memuaskan. Setangkai anggur yang telah dipetik ini menjadi simbol bagi ikatan Islam yang agung dan penuh kasih sayang, setiap buah anggur melambangkan sebuah pemerintahan Islam.
Ketiga, apa yang dilakukan oleh Zaid bin Haritsa, yaitu melindungi Rasulullah saw dengan dirinya dari lemparan batu orang-orang bodoh bani Tsaqif sampai kepalanya menderita beberapa luka, merupakan contoh yang harus dilakukan oleh setiap kaum Muslimin dalam bersikap terhadap pemimpin dakwah. Ia harus melindungi pemimpin dakwah dengan dirinya sekalipun harus mengorbankan kehidupannya.
Demikianlah sikap para sahabat terhadap Rasulullah saw. Sekalipun beliau sudah tidak ada di antara kita sekarang, namun kita dapat melakukannya dalam bentuk yang lain, yaitu, dengan kesiapan diri kita dalam menghadapi segala penderitaan dan penyiksaan di jalan dakwah Islam, dan menyumbangkan perjuangan berat sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah saw.
Tetapi setiap jaman dan masa harus ada para pemimpin dakwah Islam yang menggantikan kepemimpinan Nabi saw dalam berdakwah, di mana prajurit yang setia dan ikhlas di sekitar mereka mendukung para pemimpin terssebut dengan harta dan jiwa sebagaimana yang telah dilakukan kaum Muslimin kepada Rasulullah saw.
Keempat, apa yang dikisahkan oleh Ibnu Ishaq tentang beberapa jin yang mendengarkan bacaan Rasulullah saw ketika sedang melakukan shalat malam di Nikhlah, merupakan dalil bagi eksistensi jin, dan bahwa mereka mukallaf (dibebani kewajiban melaksanakan syariat Islam). Di antara mereka terdapat jin-jin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya , di samping mereka yang ingkar dan tidak beriman. Dalil ini telah mencapai tingkatan qath’i (pasti) dengan disebutkannya di dalam beberapa nash al-Quran yang jelas, seperti beberapa ayat pada awal seurat al-Jin dan seperti firman Allah di dalam surat al-Ahqaf:
“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata, “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).“ Ketika pembacaaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (al-Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada pendengaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari ahzab yang pedih.“ QS al-Ahqaf: 29-31
Ketahuilah bahwa kisah yang disebutkan Ibnu Ishaq dan diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam Sirahnya ini, juga disebutkan oleh Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi dengan teks yang hampir sama dengan tambahan rincian sedikit. Dan berikut ini teks yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanadnya dari Ibnu Abbas :
“Bahwa Nabi saw berangkat bersama sejulah sahabatnya menuju pasar ‘Ukazh. Dalam pada itu, setan-setan iut kembali. Mereka bertanya-tanya, “Mengapa kita dihalangi dari memperoleh kabar langit dan dilempari dengan beberapa bintang?“ Dijawab, “Tidak ada yang menghalangi kamu dari memperoleh kabar langit kecuali apa yang telah terjadi. Maka pergilah ke segala penjuru dunia, dari ujung timur sampai ke ujung barat, dan perhatikanlah peristiwa apakah yang terjadi itu?“ Lalu mereka pergi melacak dari ujung timur sampai ke ujung barat, mencari apa gerangan yang menghalangi mereka dari mendapatkan kabar langit itu? Maka berangkatlah mereka yang pergi ke Tihamah menuju kepada Rasulullah saw di Nikhlah hendak ke pasar ‘Ukazh, ketika itu Rasulullah saw sedang mengimami para sahabatnya dalam shalat subuh. Ketika mendengar bacaan al-Quran dengan penuh perhatian mereka mendengarkannya. Kemudian mereka berkata, “Inilah yang menghalangi kita dari kabar langit.“ Setelah itu mereka kembali kepada kaum mereka seraya berkata, “Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Quran (bacaan) yang menakjubkan yang menunjukkan kepada kebenaran, lalu kami mempercayainya, dan kkami tidak menyekutukan Rabb kami dengan siapapun.“ Lalu Allah menurunkan (ayat) kepada Nabi-Nya, “Katakanlah, “Telah diwahyukan kepadaku bahwasannya telah mendengarkan sekumpulan jin (akan al-Quran) ...“
Teks yang diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi sama ddengan riwayat ini, hanya saja terdapat tambahan di awal hadits: Rasulullah saw tidak membacakan kepada jin, juga tidak melihat mereka. Ia berangkat bersama sejumlah sahabatnya.
Al-Asqalani berkata: Seolah-olah Bukhari sengaja membuang lafadzh ini, karena Ibnu Mas’du menyebutkan bahwa Nabi saw membacakan kepada jin. Maka riwayat Ibnu Mas’du didahulukan daripada penafikan Ibnu Abbas. Bahkan Muslim telah mengisyaratkan hal ini, kemudian meriwayatkan hadits Ibnu Mas’du setelah hadits Ibnu Abbas ini. Nabi saw bersabda: “Telah datang kepadaku seorang penyeru dari bangsa jin, lalu aku berangkat bersamanya, kemudian akau bacakan al-Quran kepadanya.“ Antara dua riwayat ini dapat dikompromikan dengan mengatakan bahwa peristiwa terjadi beberapa kali.
Riwayat Muslim, Bukhari dan Tirmidzi ini berbeda dengan riwayat Ibnu Ishaq dalam dua segi. Pertama, riwayat Ibnu Ishaq tidak menyebutkan bahwa Nabi saw shalat bersama para sahabatnya. Bahkan riwayat Ibnu Ishaq menjelaskan bahwa Nabi saw shalat sendirian. Padahal, riwayat-riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi saw mengimami sahabatnya. Kedua, riwayat Ibnu Ishaq tidak menentukan shalat subuh, sementara riwayat-riwayat lain menyebutkannya.
Menyangkut riwayat Ibnu Ishaq tidak ada masalah. Tetapi menyangkut riwayat-riwayat lain timbul dua kemusykilan. Pertama, Nabi saw berangkat ke Thaif dan pulang darinya, sebagaimana anda ketahui hanya disertai oleh Zaid bin Haritsa. Maka bagaimana mungkin Nabi saw shalat bersama para sahabatnya? Kedua, shalat lima waktu tidak disyariatkan kecuali setelah Isra’ MI’raj sedangkan Isra’Mi’raj terjadi setelah hijrah Rasulullah saw ke Thaif menurut pendapat Jumhur. Maka bagaimana mungkin Rasulullah saw melaksanakan shalat subuh pada waktu itu ?
Menyangkut kemusykilan pertama dapat dijawab, bahwa mungkin saja Rasulullah saw ketika sampai di Nihlah (sebuah tempat dekat Mekkah) bertemu dengan para sahabatnya, lalu shalat subuh bersama mereka di tempat tersebut.
Menyangkut kemusykilan kedua dapat dijawab bahwa peristiwa mendengarnya jin terhadap bacaan al-Quran ini terjadi lebih dari sekali. Pernah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan pernah juga diriwayatkan oleh Ibnu Mas’du. Kedua riwayat ini sama-sama sahih. Dan pendapat inilah yang diambil oleh jumhur ulama peneliti. Ini jika kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi setelah hijrah ke Thaif. Tetapi jika kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi sebelum hijrah ke Thaif, maka tidak lagi ada kemusykilan.
Yang perlu kita ketahui, setelah penjelasan di atas bahwa setiap Muslim wajib mengimani adanya jin, dan bahwa mereka adalah makhluk hidup yang juga dibebani oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya sebagaimana kita, kendatipun semua indera kita tidak dapat menjangkaunya. Sebab Allah memang menjadikan eksistensi merekae di luar jangkauan kemampuan mata kita. Apalagi, mata kita hanya bisa melihat beberapa benda tertentu, dengan ukuran tertentu, dan dengan syarat-syarat tertentu.
Karena keberadaan makhluk ini didasarkan atas berita yang mutawatir dari al-Quran dan Sunnah, maka kaum Muslim telah sepakat bahwa setiap orang yang mengingkari atau meragukan keberadaan jin adalah murtad dan keluar dari Islam. Sebab mengingkari sesuatu yang bersifat aksiomatik di dalam islam, disamping merupakan pendustaan terhadp kahabr mutawatir yang datang kepada kita dari Allah dan Rasul-Nya.
Jangan sampai ada orang berakal sehat yang terjerumus ke dalam kedunguan karena tidak mau meyakini sesuatu yagn tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, kemudian menolak keberadaan jin hanya karena dia tidak melihat jin.
“Kebodohan intelektual“ seperti ini akan mengharuskan pengingkaran terhadap setiap benda atau makhluk ghaib hanya karena tidak dapat dilihat. Padahal kaidah ilmiah yang sudah terkenal mengatakan: Tidak dapat dilihatnya sesuatu tidak berarti tidak adanya sesuatu tersebut.
Kelima, apa pengaruh semua peristiwa disaksikan dan dialami oleh Rasulullah saw selama perjalannya ke Thaif ini pada dirinya?
Jawabannya, terhadap pertanyaan ini nampak jelas dalam jawaban Rasulullah saw kepada Zaid bin Haritsa ketika Zaid bertanya kepadanya dengan penuh keheranan:
“Bagaimana engkau hendak pulang ke Mekkah, wahai Rasulullah saw, sedangkan penduduknya telah mengusir engkau dari sana?“
Dengan tenang dan penuh keyakinan Rasulullah saw menjawab:
“Hai Zaid! Sesungguhnya Allah-lah yang akan memberi kita jalan keluar sebagaimana yang akan engkau lihat nanti. Sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan membela Nabi-Nya.
Jelas bahwa semua yang disaksikan dan dialaminya di Thaif setelah penyiksaan dan penganiayaan yang dialaminya di mekkah, tidak memiliki pengaruh sama sekali terhadap keyakinannya kepada Allah, atau melemahkan kekuatan teakadnya yang positif di dalam jiwany.a
Demi Allah! Ini bukanlah ketabahan manusia biasa yang memiliki kekuatan lebih dalam menghadapi penderitaan dan tekanan. Tetapi ia adalah keyakinan Nubuwwah yang telah menghujam dalam di dalam hatinya. Rasulullah saw mengetahui bahwa segala tindakkannya itu semata-mata untuk menjalankan perintah Allah dan berjalan di atas jalan ynag diperintahkan-Nya, beliau tidak pernah ragu sedikitpun bahwa Allah pasti akan memenangkan urusan-Nya, dan bahwa Dia telah menjadikan ketentuan bagi tiap sesuatu.
Pelajaran yang dapat kita ambil dalam hal ini, bahwa semua penderitaan dan rintangan yang ada di jalan dakwah Islam tidak boleh menghalangi atau menghentikan perjuangan kita, atau mengakibatkan kegentaran dan kemalasan dalam diri kita, selama kita berjalan di atas petunjuk keimanan kepada Allah. Siapa saja yang telah mengambil bekal kekuatannya dari Allah, maka dia tidak akan pernah mengenal putus asa atau malas. Selama Allah yang memerintahkan, pasti Dia akan menjadi penolong dan pembela.
Kehinaan, kemalasan dan putus asa akibat penderitaan dan rintangan, hanya akan dialami oleh orang yang menganut prinsip dan ideologi yang tidak diperintahkan Allah. Sebab mereka hanya mengandalkan kepada kekuatannya sendiri, kekuatan manusia yang serba terbatas. Segala bentuk kekuatan dan ketabahan manusia akan berubah dan terancam kehancuran dan kelesuan manakala mengalami penderitaan dan kesengsaraan yang panjang mengingat ukuran kekuatan manusia yang serba terbatas.
Nabi saw Mengijinkan Para Sahabatnya Berhijrah ke Madinah
Ibnu Sa’ad di dalam kitabnya ath-Thabaqat menyebutkan riwayat dari Aisyah ra.: Ketika jumlah pengikutnya mencapai tujuh puluh orang. Rasulullah saw merasa senang, Karena Allah telah membuatnya suatu “benteng pertahanan“ dari suatu kaum yang memiliki keahlian dalam peperangan, persenjataan, dan pembelaan. Tetapi permusuhan dan penyiksaan kaum musyrik terhadap kaum Muslim pun semakin gencar dan berat. Mereka menerima cacian dan penyiksaan yang sebelumnya tidak pernah mereka alami, sehingga para sahabat mengadu kepada Rasulullah saw dan permintaan ijin ini dijawab oleh Rasulullah saw:
“Sesungguhnya aku pun telah diberitahu bahwa tempat hijrah kalian adalah Yatsrib. Barang siapa yang ingin ke luar, maka hendaklah ia keluar ke Yatsrib.“
Maka para sahabat pun bersiap-siap, mengemas semua keperluan perjalanan, kemudian berangkatlah ke Madinah secara sembunyi-sembunyi. Sahabat yang pertama kali sampai di Madinah ialah Abu Salamah bin Abdul - Asad kemudian Amir bin Rab’ah bersama istrinya. Laila binti Abi Hasymah, dialah wanita yang pertama kali datang ke Madinah dengan menggunakan kendaraan sekedup. Setelah itu para sahabat Rasulullah saw datang secara bergelombang. Mereka turun di rumah-rumah kaum Anshar mendapatkan tempat perlindungan.
Tidak seorangpun dari sahabat Rasulullah saw yang berani hijrah secara terang-terangan kecuali Umar bin al-Khattab ra. Ali bin Abi Thalib meriwayatkan bahwa ketika Umar ra hendak berhijrah, ia membaea pedang busur, panah dan tongkat di tangannya menuju Ka’bah. Kemudian sambil disaksikan oleh tokoh-tokoh Quraisy, Umar ra melakuakn thawaf tujuh kali dengan tenang. Setelah thawaf tujuh kali ia datang ke Maqam dan mengerjakan shalat. Kemudian berdiri seraya berkata:
“Semoga celakalah wajah-wajah ini! Wajah-wajah inilah yang akan dikalahkan Allah! Barangsiapa ingin ibunya kehilangan anaknya, atau istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim piatu, hendaklah ia menghadangku di balik lembah ini.“
Selanjutnya Ali ra mengatakan: “Tidak seorangpun berani mengikuti Umar kecuali beberapa kaum lemah yang telah diberitahu oleh Umar. Kemudian Umar ra berjalan dengan aman.
Demikianlah secara berangsur-angsur kaum Muslim melakukan hijrah ke Madinah sehingga tidak ada yang tertinggal di Mekkah kecuali Rasullah saw, Abu Bakar ra, Ali ra, orang-orang yang ditahan, orang-orang sakit dan orang-orang yang tidak mampu keluar
Beberapa Ibrah
Cobaan berat yang dihadapi para sahabat Rasulullah saw semasa di Mekkah adalah berupa gangguan, penyiksaan, cacian dan penghinaan dari kaum musyrik. Setelah Rasulullah saw mengijinkan mereka berhijrah, cobaan berat itu kini berupa meninggalkan tanah air, harta kekayaan, rumah dan keluarga.
Para sahabat dengan setia dan ikhlas kepada Allah menghadapi kedua bentuk cobaan berat tersebut. Semua penderitaan dan kesulitan mereka hadapi dengan penuh kesabaran dan ketabahan. Hingga ketika Rasulullah saw memerintahkan mereka berhijrah ke Madinah, tanpa merasa berat mereka berangkat meninggalkan tanah air, kekayaan dan rumah mereka. Mereka tidak bisa membawa harta benda dan kekayaan , karena harus berangkat secara sembunyi-sembunyi. Semua itu mereka tinggalkan di Mekkah untuk menyelamatkan agamanya, dan mendapatkan ganti ukhuwah yang menantikan mereka di Madinah.
Ini adalah gambaran yang benar tentang pribadi Muslim yang mengikhlaskan agama kepada Allah. Tidak mempedulikan tanah air, harta kekayaan dan kerabat demi menyelamatkan agama aqidahnya. Itulah yang telah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw di Mekkah.
Bagaimana halnya para penduduk Madinah yang telah memberikan perlindungan dan pertolongan kepad mereka? Sesungguhnya mereka telah menunjukkan keteladanan yang baik tentang ukhuwah Islamiyah dan cinta karena Allah.
Tentu anda tahu, bahwa Allah telah menjadikan persaudaraan aqidah lebih kuat ketimbang persaudaraan nasab. Karena itu pewarisan harta kekayaan di awal Islam didasarkan pada rasa aqidah, ukhuwah dan hijrah di jalan Allah.
Hukum waris berdasarkan hubungan kerabat tidak ditetapkan kecuali setelah sempurnanya Islam di Madinah dan terbentuknya Darul-Islam yang kuat. Firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberikan tempat kedamaian dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.“ QS al-Anfal: 72
Dari pensyariatan hijrah ini dapat diambil dua hukum syari’:
Pertama:
Wajib berhijrah dari Darul-Harbi ke Darul-Islam. Al-Qurthubi meriwayatkan pendapat Ibnu al-Arab, “Sesungguhnya hijrah ini wajib pada masa Rasulullah saw dan tetap wajib sampai hari kiamat. Hijrah yang terputus dengan Fathu Makkah itu hanya di masa Nabi saw saja. Karena itu, jika ada orang yang tetap tinggal di Darul-Harbi berarti dia melakukan maksiat.
Termasuk Darul-Harbi ialah tempat di mana orang Muslim tidak dapat melakuan syiar-syiar Islam seperti shalat, puasa, berjama’ah dan hukum-hukum lain yang bersifat zhahir:
Pendapat ini didasarkan kepada firman Allah :
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimanakah kamu ini?“ Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah). “Para Malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?“ Orang-orang itu tempatnya neraka jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali. Kecuali mereka yang lemah dari laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah).“ QS an-Nisa 97-98
Kedua:
Selama masih memungkinkan sesama kaum Muslim wajib memberikan pertolongan, sekalipun berlainan negara dan bumi. Para imam dan ulama sepakat bahwa kaum Muslimin, apabila mampu wajib menyelamatkan orang-orang Muslim ynag tertindas, ditawan, atau dianiaya di mana saja meraka berada. Jika meraka tidak melakukannya, maka mereka berdosa besar.
Abu Bakar bin al-Arabi berkata: “Jika ada di antara kaum Muslimin yang ditawan atau ditindas, maka mereka wajib ditolong dan diselamatkan. Jika jumlah kita memadai untuk membebaskan mereka, maka wajib ke luar atau mengerahkan seluruh harta kekayaan kita bila perlu sampai habis untuk membebaskan mereka.
Sesama kaum Muslim wajib saling tolong-menolong dan memberikan loyalitas. Tetapi pemberian loyalitas saling tolong-menolong atau persaudaraan ini, tidak boleh dilakukan antara kaum Muslim dan orang-orang non-Muslim. Secara tegas Allah menyatakan hal ini dalam firman-Nya:
“Adapun orang-orang yang kafir sebagian mereka menjadi pelindung sebagian yang lain. Jika kamu (hai para Muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.“ QS al-Anfal: 73
Ibnu al-Arabi berkata: “Allah memutuskan walayah (perwalian) antara orang-orang kafir dan orang-orang Mu’min. Kemudian menjadikan orang-orang mu’min sebagian mereka menjadi pelindung sebagian yang lain, dan orang-orang kafir sebagian mereka menjadi pelindung sebagian yang lain. Mereka saling tolong-menolong dan saling menentukan sikap berdasarkan agama dan aqidah mereka masing-masing.“
Tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan ajaran-ajaran Ilahi seperti ini merupakan asas dan pangkal kemenangan kaum Muslim pada setiap masa. Sebaliknya pengabaian kaum Muslim terhadap ajaran-ajaran ini merupakan pangkal kelemahan dan kekalahan kaum Muslim yang kita saksikan sekarang ini di setiap tempat.
Hijrah Rasulullah saw
Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa setelah Abu Bakar ra melihat kaum Muslim sudah banyak yang berangkat hijrah ke Madinah, ia datang kepada Rasulullah sw meminta ijin untuk berhijrah. Tetapi dijawab oleh Rasulullah saw, “Jangan tergesa-gesa, aku ingin memperoleh ijin dulu dari Allah.“
Abu Bakar bertanya, “Apakah engkau juga menginginkannya?“
Jawab Nabi saw, “Ya.“
Kemudian Abu Bakar ra menangguhkan keberangkatannya untuk menemani Rasulullah saw. Ia lalu membeli dua ekor unta dan dipeliharanya selama empat bulan.
Selama masa tersebut kaum Quraisy mengetahui bahwa Rasulullah saw telah memiliki pendukung dan sahabat dari luar Mekkah. Mereka khawatir jangan-jangan Rasulullah saw keluar dari Mekkah kemudian menghimpun kekuatan di sana dan menyerang mereka.
Maka diadakanlah pertemuan di Darun-Nadwah (rumah Qushayyi bin Kilab, tempat kaum Quraisy memutuskan segala perkara) untuk membahas apa yang harus dilakukan terhadap Rasulullah saw. Akhirnya diperoleh kata sepakat untuk mengambil seorang pemuda yang kuat dan perkasa dari setiap kabilah Quraisy. Kepada masing-masing pemuda itu diberikan sebilah pedang yang ampuh kemudian secara bersama-sama mereka serentak membunuhnya, agar Bani Manaf tidak berani melancarkan serangan terhadap semua orang Quraisy. Setelah ditentukan hari pelaksanaannya. Jibril as datang kepada Rasulullah saw memerintahkan berhijrah dan melarangnya tidur di tempat tidurnya pada malam itu.“
Dalam riwayat Bukhari, Aisyah ra mengatakan: “Pada suatu hari kami duduk di rumah Abu Bakar ra, tiba-tiba ada seseorang yang berkata kepada Abu Bakar, “Rasulullah saw datang padahal beliau tidak biasa datang kemari pada saat-saat seperti ini. “Kemudian Abu Bakar berkata: “Demi bapak dan ibuku yang menjadi tebusan engkau, Demi Allah, Rasulullah saw datang pada saat seperti ini, tentu ada suatu kejadian penting.“ Aisya ra berkata: “Kemudian Rasulullah saw datang dan meminta ijin untuk masuk. Setelah dipesilahkan oleh Abu Bakar, Rasulullah saw pun masuk ke rumah, lalu berkata kepada Abu Bakar, “Suruhlah keluargamu masuk ke rumah.“ Abu Bakar menjawab, “Ya, Rasulullah saw tidak ada siapa-siapa kecuali keluargaku.“ Rasulullah saw menjelaskan, “Allah telah mengijinkan aku berangkat berhijrah.“ Tanya Abu Bakar, “Apakah aku jadi menemani anda, ya Rasulullah?“ Jawab Nabi saw, “Ya, benar engkau menemani aku.“ Kemudian Abu Bakar berkata, “Ya, Rasulullah saw, ambillah salah satu dari dua ekor untaku.“ Jawab Rasulullah saw. “Ya, tetapi dengan harga.“
Lebih jauh Aisyah ra menceritakan: “Kemudian kami mempersiapkan segala keperluan secepat mungkin, dan kami buatkan bekal makanannya yang kami bungkus dalam kantung terbuat dari kulit. Lalu Asma’ binti Abu Bakar memotong ikat pinggangnya untuk mengikat mulut kantong itu, sehingga dia mendapatkan sebutan “pemilik ikat pinggang“.
Kemudian Rasulullah saw menemui Abi bin Abi Thalib dan memerintahkan untuk menunda keberangkatannya hingga selesai mengembalikan barang-barang titipan setiap orang di Mekkah yang merasa khawatir terhadap terhadap barang miliknya yang berharga, mereka selalu menitipkannya kepada Rasulullah saw, karena mereka mengetahui kejujuran dan kesetiaan beliau di dalam menjaga barang amanat.
Sementara itu Abu Bakar memerintahkan anak lelakinya Abdullah supaya menyadap berita-berita yang dibicarakan orang banyak di luar untuk di sampaikan pada sore harinya kepadanya di dalam gua. Selain Abdullah kepada bekas budaknya yang bernama Amir bin Fahirah, Abu Bakar juga memerintahkan supaya menggembalakan kambingnya di sinag hari, dan pada sore harinya supaya digiring ke gua untuk diperah air susunya di samping untuk menghapuskan jejak. Kepada Asma’, Abu Bakar menugasinya supaya membawa makanan kepadanya setiap sore.
Ibnu Ishaq dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Yahya bin ‘Ibad bin Abdillah bin Zubair dari Asma’ binti Abi Bakar ra, ia berkata: “Ketika Rasulullah saw berangkat bersama Abu Bakar, Abu Bakar membawa serta semua hartanya sejumlah enam atau lima ribu dirham. Selanjutnya Asma’ menceritakan: Kemudian kakekku yang sudah buta, Abu Quhafah, datang kepada kami seraya berkata, “Demi Allah aku melihat Abu Bakar berangkat meninggalkan kamu dengan membawa seluruh hartanya. “Aku jawab, “Tidak, wahai kakek. Dia telah meninggalkan kebaikan yang banyak untuk kami.“ Lalu aku ambil beberapa batu kemudian aku letakkan di tempat di mana Abu Bakar biasa menaruh uanngya, lalu aku tutupi dengan kain. Kemudian aku pegang tangannya dan aku katakan kepadanya, “Letakkanlah tanganmu di atas uang ini.“ Kemudian dia meletakan tangannya di antaranya seraya berkata, “Tidak mengapa, jika dia telah meninggalkan untukmu. Dia telah berbuat baik, dan ini cukup untukmu.“ Asma’ berkata, “Demi Allah sebenarnya dia tidak meninggalkan sesuatu untuk kami, tetapi dengan cara itu aku hanya ingin menyuruh kakek diam.
Pada masa hijrah Nabi saw orang-orang musyrik telah menunggu di pintu Rasulullah saaw. Mereka mengintai hendak membunuhnya. Tetapi Rasulullah saw lewat di hadapan mereka dengan selamat, karena Allah telah mendatangkan rasa kantuk pada mereka. Sementara itu, Ali bin Abi Thalib dengan tenang tidur di atas tempat tidur Rasulullah saw, setelah mendapatkan jaminan dari beliau bahwa mereka tidak akan berbuat kejahatan terhadapnya.
Maka berangkatlah Rasulullah saw bersama Abu Bakar menuju gua Tsur. Peristiwa ini menurut riwayat yang paling kuat terjadi pada tanggal 2 Rabi’ul awwal bertepatan dengan 20 September 622 M, tiga belas tahun setelah bi’tsah. Kemudian Abu Bakar memasuki gua terlebih dahulu untuk melihat barangkali di dalamnya ada binatang buas atau ular. Di gua inilah keduanya menginap selama tiga hari. Setiap malam Abdullah bin Abu Bakar menginap bersama mereka, kemudian turun ke Mekkah pada waktu Shubuh. Sementara Amir bin Fahirah datang ke gua dengan membawa kambing-kambingnya untuk menghapuskan jejak Abdullah.
Dalam pada itu, kaum musyrik setelah mengetahui keberangkatan Nabi saw mencari Rasulullah saw dengan mengawasi semua jalan ke arah Madinah, dan memeriksa setiap persembunyian, bahkan sampai ke gua Tsur. Saat itu Rasulullah saw dan Abu Bakar mendengar langkah-langkah kaki kaum musyrik di sekitar gua, sehingga Abu Bakar merasa khawatir dan berbisik kepada Rasulullah saw, “Seandainya di antara mereka ada yang melihat ke arah kakinya, niscaya mereka akan melihat kami.“ Tetapi dijawab oleh Nabi saw, “Wahai Abu Bakar, jangan kamu kira kita hanya berdua saya. Sesungguhnya Allah berserta kita.“
Allah menutup mata kaum musyrik sehingga tak seorangpun melihat ke arah gua itu, dan tak serorangpun di antara mereka yang berpikir tentang apa yang ada di dalamnya.
Setelah tidak ada lagi yang mencari, dan setelah datang Abdullah bin Arqath seorang pemandu jalan yang dibayar untuk menunjukkan jalan rahasia ke Madinah, berangkatlah keduanya menyusuri jalan pantai dengan dipandu oleh Abdullah bin Arqath itu.
Pada waktu itu kaum Quraisy mengumumkan tawaaran, bahwa siapa saja yang dapat menangkap Muhammad saw dan abu Bakar akan diberi hadiah sebesar harga diyat (tebusan) masing-masing dari keduanya.
Pada suatu hari, ketika sejumlah orang dari bani Mudlij sedang mengadakan pertemuan, di antara mereka terdapat Suraqah bin Ja’tsam, tiba-tiba datang kepada mereka seorang laki-laki sambil berkata, “Saya baru saja melihat beberapa bayangan hitam di pantai. Saya yakin mereka adalah Muhammad dan para sahabatnya.“ Suraqah pun mafhum bahwa mereka adalah Muhammad saw, tetapi dengan pura-pura berkata, “Ia berhenti sejenak, kemudian menunggang dan memacu kudanya untuk mengejar rombongan itu, hingga ketika telah sampai dekat Rasulullah saw, tiba-tiba kudanya tersungkur, dan dia pun jatuh terpelanting. Kemudian dia bangun dan mengejar kembali sampai mendengar bacaan Nabi saw. Berkali-kali Abu Bakar menoleh ke belakang, sementara Rasulullah saw berjalan terus dengan tenang. Tetapi tiba-tiba Suraqah terhempas lagi dari punggung kudanya dan jatuh terpelanting. Ia bangun lagi dengan tubuh berlumuran tanah, kemudian berteriak memanggil-manggil minta diselamatkan.
Tatkala Rasulullah saw dan Abu Bakar menghampirinya, ia meminta ma’af dan mohon supaya Nabi saw berdoa memohonkan ampunan untuknya, dan kepada Nabi saw ia menawarkan bekal perjalanan. Oleh Nabi saw dijawab, “Kami tidak membutuhkan itu! Yang kuminta supaya engkau tidak menyebarkan berita tentang kami.“ Suraqah menyahut, “baiklah.“
Maka pulanglah Suraqah dan setiap kali bertemu dengan orang-orang yang mencari-cari Rasulullah saw dia selalu menyarankan supaya kembali saja. Demikianlah kisah Suraqah. Di pagi hari ia berjuang dengan giat ingin membunuh Nabi saw, tetapi di sore hari berbalik menjadi pelindungnya.
Tiba di Quba’
Sesampainya di Quba’ Rasulullah saw disambut dengan gembira oleh para penduduknya, dan tinggal di rumah Kaltsum bin Hidam selama beberapa hari. Di sinilah Ali bin Abi Thalib menyusul Rasulullah saw setelah mengembalikan barang-barang titipan kepada para pemiliknya. Kemudian Rasulullah saw membangun mesjid Quba’, mesjid yang disebut Allah sebagai “mesjd yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama.“
Setelah itu Rasulullah saw melanjutkan perjalanannya ke Madinah. Menurut al-Mas’udi Rasulullah saw memasuki Madinah tepat pada malam hari tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Di sini Rasulullah saw disambut dengan meriah dan dijemput oleh orang-orang Anshar. Setiap orang berebut memegang tali untanya, karena mengharapkan Rasulullah saw sudi tinggal di rumahnya, sehingga Rasulullah saw berpesan kepada mereka, “Biarkan saja tali unta itu karena ia berjalan menurut perintah.“ Unta pun terus berjalan memasuki lorong-lorong Madinah hingga sampai pada sebidang tanah tempat pengeringan kurma milik dua anak yatim dari bani Najjar di depan rumah Abu Ayyub al-Ansary. Rasulullah saw bersabda: “Di sinilah tempatnya insya Allah.“ Lalu Abu Ayyub segera membawa kendaraan itu ke rumahnya, dan menyambut Nabi saw dengan penuh bahagia. Kedatangan nabi saw ini juga disambut dengan gembira oleh gadis-gadis kecil bani Najjar seraya bersenandung:
“Kami gadis-gadis dari bani Najjar, Kami harap Muhammad menjadi tetangga kami“
Mendengar senandung ini Rasulullah saw bertanya kepad mereka,“ Apakah kalian mencintaiku?“ Jawab mereka, “Ya.“ Kemudian Nabi saw bersabda: “Allah mengetahui bahwa hatiku mencintai kalian.“
Di Rumah Abu Ayyub
Abu Bakar bin Abi Syaibah, Ibnu Ishaq dan Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan dari beberapa sanad dengan lafadzh yang hampir bersamaan, bahwa Abu Ayyub ra berkata, “Ketika Rasulullah saw tinggal di rumahku, beliau menempati bagian bawah rumah, sementara aku dan Ummu Ayyub di bagian atas. Kemudian aku katakan kepadanya, “Wahai Nabi Allah, aku tidak suka dan merasa berat tinggal di atas engkau, sementara engkau berada di bawahku. “ Tetapi Nabi saw menjawab, “Wahai Abu Ayyub, biarkan kami tinggal dibawah, agar orang yang bersama kami dan orang yang ingin berkunjung kepada kami tidak perlu susah payah.“
Selanjutnya Abu Ayyub menceritakan: Demikianlah Rasulullah saw tinggal di bagian bawah sementara kami tinggal di bagian atas. Pada suatu hari, gentong kami yang berisi air pecah, maka segeralah aku dan Ummu Ayyub membersihkan air itu dengan selimut kami yang satu-satunya itu, agar air tidak menetes ke bawah yang dapat mengganggu beliau. Setelah itu aku turun kepadanya meminta agar beliau sudi pindah ke atas, sehingga beliau bersedia pindah ke atas.
Pada kesempatan lain Abu Ayyub menceritakan: Kami biasa membuatkan makanan malam untuk Nabi saw. Setelah siap makanan itu, kami kirimkan kepada beliau. Jika sisa makanan itu dikembalikan kepada kami, maka aku dan ummu Ayyub berebut pada bekas tangan beliau, dan kami makan bersama sisa makanan itu untuk mendapatkan berkat beliau. Pada suatu malam kami mengantarkan makanan malam yang kami campuri dengan bawang merah dan bawang putih kepada beliau, tetapi ketika makanan itu dikembalikan oleh Rasulullah saw kepada kami, aku tidak melihat adanya bekas tangan yang menyentuhnya. Kemudian dengan rasa cemas aku datang menanyakan, “Wahai Rasulullah saw , engkau kembalikan makanan malammu, tetapi aku tidak melihat adanya bekas tanganmu. Padahal, setiap kali engkau mengembalikan makanan, aku dan ummu Ayyub selalu berebut pada bekas tanganmu, karena ingin mendapatkan berkat.“ Nabi saw menjawab, “Aku temui pada makananmu itu bau bawang, padahal aku senantiasa bermunajat kepada Allah. Tetapi untuk kalian makan sajalah.“ Abu Ayyub berkata: Lalu kami memakannya. Setelah itu kami tidak pernah lagi menaruh bawang merah atau bawang putih pada makanan beliau.
Beberapa Ibrah
Pada pembahasan terdahulu telah kami jeaskan makna hijrah dalam Islam. Dalam penjelasan tersebut kami kemukakan bahwa Allah swt menjadikan kesucian agama dan aqidah di atas segala sesuatu. Tidak ada nilai dan arti tanah air, bangsa, harta dan kehormatan apabila aqidah dan syiar-syiar Islam terancam kepunahan dan kehancuran. Karenanya Allah mewajibkan para hambah-Nya untuk mengorbankan segala sesuatu. Jika diperlukan demi mempertahankan aqidah dan Islam.
Sudah menjadi Sunnahtullah di alam semesta, bahwa kekuatan moral yang tercermin pada aqidah yang benar dan agama yang lurus, merupakan pelindung bagi peradaban dan kekuatan material. Jika suatu umat memiliki akhlak yang luhur, dan berpegang teguh dengan agamanya yang benar, niscaya kekuatan materialnya yang tercermin pada apa yang telah kami sebutkan tadi tidak lama lagi pasti akan mengalami kehancuran. Sejarah adalah bukti terbaik bagi apa yang kami tegaskan ini.
Karena itu, Allah mensyariatkan prnsip berkorban dengan harta dan tanah air demi mempertahankan aqidah dan agama manakala diperlukan. Dengan pengorbanan ini sebenarnya kaum Muslimin telah memelihara harta, negara dan kehidupan, kendatipun nampak pertama kali mereka kehilangan semua itu.
Bukti yang terbaik bagi kebenaran pernyataan ini ialah hijrah Rasulullah saw dari Mekkah ke Madinah. Secara lahiriyah hijrah ini mungkin nampak sebagai suatu kerugian bagi Rasulullah saw, karena harus kehilangan negerinya. Tetapi pada hakekatnya merupakan upaya untuk melindungi dan memeliharanya. Sebab upaya memelihara sesuatu itu boleh jadi berupa tindakan meninggalkan dan menjauhinya selama masa tertentu. Beberapa tahun setelah hijrahnya ini berkat agama Islam yang telah diterapkan negeri yang hilang (Mekkah) dapat direbut kembali dengan penuh wibawa dan kekuatan yagn tak dapat digoyahkan oleh orang-orang yang pernah mengejar-ngejarnya.
Kembali kepada pelajaran yang terkandung dalam kisah hijrah Rasulullah saw. Dari kisah hijrah ini terdapat beberapa hukum yang sangat penting bagi setiap Muslim:
Pertama:
Hal yang paling menonjol dalam kisah hijrah Rasulullah saw ini ialah pesan beliau kepada Abu Bakar supaya menunda keberangkatannya untuk menemaninya dalam perjalanan hijrah.
Dari peristiwa ini para ulama menyimpulkan bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling dicintai Rasulullah saw, paling dekat kepadanya, dan paling berhak menjadi khalifah sesudahnya. Kesimpulan ini dikuatkan oleh beberapa peristiwa lainnya, seperti perintah Rasulullah saw kepadanya untuk menggantikan beliau menjadi immam shalat ketika beliau sakit. Juga dikuatkan oleh sabda beliau dalam hadits shahih:
“Sekiranya aku mengambil seorang kekasih (khalil), niscaya Abu Bakarlah orangnya.“
Kepribadian dan keistimewaan yang dikaruniakan Allah kepada Abu Bakar memang layak untuk mendapatkan derajat dan tingkatan tersebut. Ia adalah contoh seorang sahabat ynag jujur dan setia, bahkan siap mengorbankan jiwa dan segala yng dimilikinya demi membela Rasulullah saw. Tidakkah kita lihat bagaimana Abu Bakar memasuki gua Tsur terlebih dahulu, demi menyelamatkan Rasulullah saw dari kemungkinan gangguan binatang buas dan ular. Kita saksikan pula bagaimana Abu Bakar menggerakan harta, kedua anak dan seorang penggembala kambingnya untuk membantu Rasulullah saw dalam perjalanan panjang dan berat ini.
Demi Allah kepribadian seperti inilah yang haru dimiliki oleh setiap Muslim yang beriman kepada Allah dn Rasul-Nya . Karena itu, Rasulullah saw bersabda:
“Tidaklah beriman salah seroang di antaramu sehingga aku lebih dicintai daripada anaknya, orang tuanya dan semua orang.“
Kedua:
Mungkin akan terlintas dalam benak seorang Mukmin untuk membandingkan antara hijrah Umar bin Khattab ra dan hijrah Nabi saw, lalu bertanya: “Mengapa Umar ra berhijrah secara terang-terangan seraya menantang kaum musyrik tanpa rasa takut sedikitpun, sementara Rasululalh saw berhijrah secara sembunyi-sembunyi? Apakah Umar ra lebih berani ketimbang Nabi saw?“
Jawabnya bahwa Umar ra ataupun orang Muslim lainnya tidaklah sama dengan Rasulullah saw. Semua tindakkan dianggap sebagai tindakan pirbadi, tidak menjadi hujjah syariat. Ia boleh memilih salah satu dari beberapa cara, sarana, dan gaya sesuai dengan kapasitas keberanian dan keimanan kepada Allah.
Akan halnya Rasullah saw, beliau adalah orang yang bertugas menjelaskan syariat, yakni bahwa semua tindakannya berkaitan dengan agama merupakan syariat bagi kita. Itu sebabnya maka Sunnah Nabi saw yang berupa perkataan, perbuatan, sifat dan taqrir (penetapan)-nya, merupakan sumber syariat yang kedua. Seandainya Rasulullah saw melakukan seperti yang dilakukan oleh Umar ra niscaya orang-orang akan mengira bahwa cara dan tindakan seperti itu adalah wajib, yakni tidak boleh mengambil sikap hati-hati dan bersembunyi ketika dalam keadan bahaya. Padahal Allah menegaskan syariatnya di dunia ini berdasarkan tuntutan sebab dan akibat. Bahkan segala sesuatu ini pada hakekatnya terjadi dengan sebab dan kehendak Allah.
Oleh karena itu Rasulullah saw menggunakan semua sebab dan sarana yang secara rasional tepat dan sesuai dengan pekerjaan tersebut, sampai tidak ada sarana yang bisa dimanfaatkan kecuali telah digunakan oleh Rasulullah saw. Beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib supaya tidur di tempat tidurnya dengan menggunakan selimutnya. Juga membayar seorang musyrik setelah dapat dipastikan kejujurannya, sebagai penunjuk jalan rahasia, bersembunyi di gua selama tiga hari, dan persiapan-persiapan lainnya yang terpikirkan oleh akal manusia. Kesemuanya ini untuk menjelaskan bahwa keimanan kepada Allah tidak melarang pemakaian dan pemanfaatan sebab-sebab yang memang dijadikan Allah sebagai sebab.
Rasulullah saw melakukan itu bukan karena takut akan tertangkap oleh kaum musyrik di tengah perjalanan. Buktinya, setelah Rasulullah saw mengerahkan segala upaya, kemudian kaum musyrik mencarinya sampai ke tempat persembunyiannya di gua Tsur, hingga apabila melihat ke bawah pasti akan melihatnya, sehingga menimbulkan rasa takut di hati Abu Bakar ra., tetapi dengan tenang Rasulullah saw menjawab, “Wahai Abu Bakar, janganlah kmu kira bahwa kita hanya berdua saja. Sesungguhnya Allah beserta kita. “Seandainya Rasulullah saw hanya mengandalkan kehati-hatian (faktor amniyah) saja pasti sudah timbul rasa takut di hati beliau pada saat itu.
Tetapi karena kehati-hatian itu merupakan tugas pensyariatan (wazhifah tasyriyat) yang harus dilaksanakan, maka setelah melaksanakan tugas tersebut hatinya kembali terikat kepada Allah dan bergantung kepada pelindung-Nya. Hal ini supaya kaum Muslim mengetahui bahwa dalam segala urusan mereka tidak boleh bergantung kecuali kepada Allah, kendatipun tetap diperintahkan untuk melakukan usaha dan mencari kausal (sebab) yang diciptakan Allah apda alam nyata ini.
Di antara dalil nyata bagi apa yang kami katakan ini ialah sikap Nabi saaw ketika dikejar oleh Suraqah yang ingin membunuhnya dan mulai mendekatinya. Seandainya Rasulullah saw hanya mengandalkan usaha kehati-hatian yang telah dilakukannya, pasti beliau sudah merasa takut ketika melihat Suraqah. Tetapi Rasulullah saw tidak gentar sama sekali, bahkan dengan tenang melanjutkan bacaan al-Quran dan munajatnya kepada Allah. Karena beliau mengetahui bahwa Allah yang memerintahkannya berhijrah pasti akan melindunginya dari segala bentuk kejahatan manusia, sebagaimana telah dijelaskan-Nya di dalam Kitab-Nya yang terang.
Ketiga:
Tugas Ali ra menggantikan Rasulullah saw dalam mengembalikan barang-barang titipan yang dititipkan oleh para pemiliknya kepada Nabi saw merupakan bukti nyata bagi sikap yang kontradiktif yang diambil oleh kaum musyrik. Pada satu sisi mereka mendustakan dan menganggapnya sebagai tukang sihir atau penipu, tetapi pada sisi lain mereka tidak menemukan orang yang lebih amanah dan jujur dari Nabi saw. Ini menunjukkan bahwa keingkaran dan penolakkan mereka bukan karena meragukan kejujuran Nabi saw, tetapi karena kesombongan dan keangkuhan mereka terhadap kebenaran yang dibawanya, di samping karena takut kehilangan kepemimpinan dan kesewenang-wenangan mereka.
Keempat:
Jika kita perhatikan kegiatan dan tugas yang dilakukan oleh Abdullah bin Abu Bakar yang mondar-mandir antara gua Tsur dan Mekkah mencari berita dan mengikuti perkembangan, kemudian melaporkannya kepada Nabi saw dan ayahnya, juga tugas yang dilakukan saudara perempuannya, Asma’ binti Abu Bakar, dalam mempersiapkan bekal perjalanan dan mensuplai makanan, kita dapatkan suatu gambaran dan sosok kepribadian yang harus diwujudkan oleh para pemuda Islam yang berjuang di jalan Allah demi merealisasikan prinsip-prinsip Islam dan menegakkan masyarakat Islam. Kegiatan yang dilakukannya tidak hanya terbatas pada ritus-ritus peribadatan, tetapi harus mengerahkan segenap potensi dan seluruh kegiatannya untuk perjuangan Islam. Itulah ciri-ciri khas pemuda dalam kehidupan Islam dan kaum Muslim pada setiap masa.
Perhatikanlah orang-orang yang ada di sekitar Nabi saw pada masa dakwah dan jihadnya, sebagian besar terdiri dari para pemuda yang masih belia. Mereka tidak tanggung-tanggung dalam memobilisasi segenap potensi demi membela Islam dan menegakkan masyarakatnya.
Kelima:
Yang dialami oleh Suraqah dan kudanya ketika menghampiri Rasulullah saw merupakan mu’jizat bagi beliau. Para imam hadits menyepakai kebenaran riwayat tersebut, terutama Imam Bukhari dan Muslim. Peristiwa ini dapat dimasukkan ke dalam daftar deretan mu’jizat Nabi saw.
Keenam:
Di antara mu’jizat yang terbesar yang terjadi dalam kisah hijrah Nabi saw ialah keluarganya Rasulullah saw dari rumahya yang sudah dikepung oleh kaum musyrik yang hendak membunuhnya. Ketika Nabi saw keluar mereka semau tertidur, sehingga tak seorangpun melihatnya. Bahkan sebagai penghinaan terhadap mereka, ketika keluar dan melewati mereka Rasulullah saw menaburkan pasir ke atas kepala mereka seraya membaca firman Allah:
“Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.“ QS Yasin: 9
Mu’jizat ini merupakan pengumuman Ilahi kepada kaum musyrik pada setiap masa, bahwa penindasan dan penyiksaan yang dialami Rasulullah saw dan para sahabatnya di tengah perjuangannya menegakkan Islam, selama masa yang tidak terlalu lama, tidak berarti bahwa Allah membiarkan mereka. Tidak sepatutnya kaum musyrik dan segenap musuh Islam membanggakan hal itu, karena sesungguhnya pertolongan Allah amat dekat, dan sarana-sarana kemenangan pun kian lama kian mendekati kenyataan.
Ketujuh:
Sambutan masyarakat Madinah kepada Rasulullah memberikan gambaran kepada kita betapa besar kecintaan yang telah merasuki hari kaum Anshar. Setiap hari mereka keluar di bawah terik matahari ke pintu gerbang kota Madinah menantikan kedatangan Rasulullah sw hingga apabila matahari telah terbenam, mereka kembali untuk menantikannya esok hari. Ketika Rasulullah saw muncul, tumpahlah segala muatan rasa gembira, dan dengan serempak mereka mengumandangkan bait-bait qashidah karena kegembiraan melihat kedatangan Rasulullah saw. Perasaan cinta ini oleh Rasulullah saw dibalas dengan cinta yang sama, sehingga beliau pun memperhatikan gadis-gadis kecil Bani Najjar yang sedang berdendang menyambut kedatangannya, seraya bertanya, “Apakah kalian mencintaiku? Demi Allah, sesungguhnya hatiku mencintai kalian.“
Semua ini menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah saw tidak semata-mata mengikutinya. Bahkan mencintai Rasulullah saw itu merupakan asas dan dorongan untuk mengikutinya. Jika tidak ada cinta yang bergelora di dalam hati, niscaya tidak akan ada dorongan untuk mengikutinya.
Karena itu, sesatlah orang yang beranggapan bahwa mencintai Rasulullah saw tidak memiliki arti lain kecuali dengan mengikuti dan meneladaninya dalam beramal. Mereka tidak menyadari bahwa seseorang tidak mungkin mau meneladani kalau tidak ada dorongan yang mendorongnya ke arah itu. Dan tidak ada dorongan yang mendorong untuk mengikuti kecuali rasa cinta yang bergelora di hati yang membangkitkan semangat dan perasaan. Oleh sebab itu Rasululalh saw menjadikan bergeloranya hati dalam mencintai dirinya sebagai ukuran iman kepada Allah swt, dimana kecintaan ini mengalahkan rasa cinta kepada anak, orang tua dan semua manusia. Ini menunjukkan bahwa cinta kepada Rasulullah saw sejenis dengan cinta kepada anak dan orang tua, yakni masing-masing dari keduanya bersumber dari perasaan dan hati. Jika tidak demikian, maka tidak mungkin dapat dilakukan perbandingan antara keduanya.
Kedelapan:
Gambaran yang kita lihat pada persinggahan Rasulullah saw di rumah Abu Ayyub al-Anshari menunjukkan betapa besar cinta para sahabat kepada Rasulullah saw.
Hal yang perlu kita perhatikan ialah tabarruk-nya Abu Ayyub dan istrinya dengan bekas sentuhan jari-jari Rasulullah saw, pada hidangan makanan, ketika sisa makanan itu dikembalikan oleh Rasulullah saw kepada keduanya. Dengan demikian tabarruk (mengharapkan berkah) dari sisa-sisa Nabi saw adalah perkara yang disyariatkan dan dibenarkan oleh Nabi saw.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan beberapa gambaran lain dari tabarruk-nya para sahaabt dengan sisa-sisa Nabi saw unttuk keperluan pengobatan dan lain sebagainya.
Di antara apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitabul-Libas pada bab Perihal Uban. Disebutkan bahwa Ummu Salamah, istri Nabi saw, pernah menyimpan beberapa lembar rambut Nabi saw, di dalam sebuah kotak. Jika ada salah seorang sahabat yang terserang penyakit mata atau penyakit lainnya. Ummu Salamah mengirimkan segelas air yang sudah dicelupi dengan beberapa lembar rambut Rasulullah saw tersebut, kemudian mereka meminum air tersebut dengan mengharapkan berkahnya.
Muslim juga meriwayakan di dalam Kitabul-Fadhail pada bab keharuman keringat Rasulullah saw, bahwa Nabi saw pernah memasuki rumah Ummu Sulaim, kemudian tidur di tempat tidurnya pada saat Ummu Sulaim tidak ada di rumah. Kemudian Ummu Sulaim datang dan melihat Rasulullah saw meneteskan keringatnya. Lalu Ummu Sulaim menadahi keringat Nabi saw tersebut dengan sepotong kain di atas tempat tidur, kemudian memerasnya dan menyimpannya di dalam botol kecil. Tak lama kemudian Nabi saw bangun seraya bertanya: “Apa yang sedang kamu lakukan, wahai Ummu Sulaim?“ Ummu Sulaim menjawab: “Kami mengharap berkahnya untuk anak-anak kecil kami.“ Jawab Nabi , “Kamu benar.“
Juga apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tentang berebutnya para sahabat terhadap air bekas wudhu’ Nabi saw dan tabarruk mereka dari beberapa benda ynag pernah digunakan oleh Nabi saw seperti pakaian beliau dan bejana bekas dipakai minum beliau.
Sumber: Sirah Nabawiyah oleh Dr. Muhammad Sa'id Ramadhani Al-Buthy
Comments